RESUME KELOMPOK 13
TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
A.
Aliran Klenik
Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan
dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal
(KBRI, 1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya
dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam
kegiatannya dukun ini melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau
kekuatan gaib lainnya.
Penyimpangan tingkah laku keagamaan yang dilakukan aliran klenik
seperti ini menurut Robert H. Thouless dapat dianalisis dengan menggunakan
pendekatan psikologi sugesti. Istilah ini digunakan oleh para ahli psikologi
untuk proses yang diamati dalam berbagai eksperimen dengan hipnotisme. Dalam
analisisnya, Robert H. Thouless mencontohkan bagaimana tukang hipnotis
meyakinkan seseorang melalui persepsi yang diciptakannya.
Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat Klenik memiliki
karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1.
Pelakunya menokohkan diri selaku orang suci dan umumnya tidak
memiliki latar belakang yang jelas (asing).
2.
Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang
berhubungan dengan hal-hal gaib.
3.
Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan
masyarakat.
4.
Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
5.
Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
B.
Konversi Agama
1.
Pengertian Konversi Agama
a.
Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari
kata lain “conversio” yang berarti: tobat, pindah dan berubah (agama).
b.
Pengertian konversi agama menurut terminologi. Menurut pengertian
ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama antara
lain:
1.
Max Heirich mengatakan, bahwa konversi agama adalah suatu tindakan
di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem
kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
2.
Willian James mangatakan, konversi agama adalah dengan kata-kata: to
be convered, to be regenerated, to receive grace, to experience religion.
Konversi
agama banyak mengatakan masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada.
Selain itu, konversi agama yang dimaksudkan uraian di atas memuat beberapa
pengertian dengan ciri-ciri:
a.
Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap
agama dan kepercayaan yang dianutnya.
b.
Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga
perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
c.
Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan
dari suatu agama ke agama lain, tetapi
juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
d.
Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perunahan itu
pun disebabkan faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
2.
Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
a.
Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong
terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi.
b.
Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya
konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong
terjadinya konversi itu sendiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
1.
Pengaruh hubungan antar pribadi
2.
Pengaruh kebiasaan yang rutin.
3.
Pengaruh anjuran atau propoganda dari orang-orang yang dekat.
4.
Pengaruh pemimpin keagamaan.
5.
Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi..
6.
Pengaruh kekuasaan pemimpin.
c.
Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong
terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor
intern maupun ekstern.
Faktor yang melatarbelakanginya timbul dari dalam diri (intern) dan
dari lingkungan (ekstern).
a.
Faktor Intern, yang ikut mempengaruhi terjadinya konversi agama
adalah:
1)
Kepribadian
2)
Faktor Pembawaan
b.
Faktor ekstern (faktor luar diri)
1.
Faktor keluarga
2.
Lingkungan tempat tinggal
3.
Perubahan status
4.
Kemiskinan
c.
Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama
dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data
dan argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut memengaruhi konversi agama.
3.
Proses Konversi Agama
Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara
mendasar. Proses konversi ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah
gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan
baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
M.T.L. Penido berpendapat, bahwa konversi agama mengandung
dua unsur yaitu:
a.
Unsur dari dalam diri (endogenos origin),
b.
Unsur dari luar (exogenos origin)
Perubahan yang terjadi tetap pertahapan yang sama dalam bentuk
kerangka proses secara umum.
Kerangka proses itu dikemukakan antara lain oleh:
a.
H. Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai
berikut:
1.
Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat
dari krisis yang dialami.
2.
Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru.
Dengan
adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan
struktur lama.
3.
Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang
dituntut oleh ajarannya.
4.
Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan
suci petunjuk Tuhan.
b.
Dr. Zakiah Daradjat, memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses
kejiwaan yang terjadi melalui lima tahap yaitu:
1.
Masa tenang
2.
Masa ketidaktenangan
3.
Masa konversi
4.
Masa tenang dan tentram
5.
Masa Ekspresi konversi
C.
Konflik Agama
1. Pengetahuan Agama
yang Dangkal
2. Fanatisme
3. Agama sebagai
Doktrin
4. Simbol-Simbol
5. Tokoh Agama
6. Sejarah
7. Berebut Surga
D.
Terorisme dan Agama
Terorisme berasal
dari kata teror, yang secara etimologi mencakup arti: 1. Perbuatan (pemerintah
dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya); 2. Usaha
menciptakan kekuatan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau menimbulkan kekuatan
dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik (kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1990: 939). Jadi, terorisme mungkin dilakukan oleh siapa
saja, baik pemerintah, golongan atau perorangan.
Merujuk tujuan yang menjadi targetnya adalah politik, sebenarnya
terorisme sama sekali tidak terkait dengan agama. Namun, akhir-akhir ini mulai
berkembang suara bernada “miring” untuk mengaitkan terorisme dengan gerakan
keagamaan.
1.
Fundamentalisme
Istilah “fundamentalisme’ menjadi semacam keyakinan kristen dengan
dapat menempatkan diri untuk keperluan umum dan akademik.
Thomas Meyer kemudian merinci empat karakter gerakan fundamentalis:
1) Penggunaan tidak tepat atas keseluruhan isi al-Kitab, 2). Pernyataan bahwa
semua teologi, agama dan ilmu pengetahuan adalah tindak berlaku, bilamana
bertentangan dengan kata-kata dalam Al-Kitab; 3). Keyakinan, bahwa siapa saja
yang keluar dari teks Al-Kitab (sesuai dengan interpretasi kaum
fundamentalisme) dapat menjadi seorang Kristen yang benar, walaupun dengan
yakin menyatakan demikian, dan 4). Keyakinan yang pasti untuk membatalkan
pemisahan modern atas gereja dan negara, agama dan politik demi kepentingan
politik, dengan cara menginterpretasikan agama sebagai jalan masing-masing
bilamana ketentuan hukum/politik dalam masalah krusial bertentangan dengan
etika masing-masing.
2.
Radikalisme
Terorisme menampilkan ciri berupa ancaman dan kekerasan, dengan
sasaran sipil (non-militer) yang dilatarbelakangi oleh tujuan politik. Adapun
maksud dari terorisme antara lain menciptakan chaos (kekacauan),
demoralisasi dan disfungsi sosial. Gerakan-gerakan seperti ini sering dikaitkan
dengan radikalisme, yaitu paham atau aliran yang menghendaki pembaruan sosial
atau politik dengan cara keras dan drastis. Oleh karena itu, radikalisme
diidentikkan dengan sikap eksterm dalam aliran politik (KBBI, 1990: 719)
3.
Mitos-mitos Keagamaan
Ajaran agama sebenarnya berisi nilai-nilai luhur. Namun demikian,
nilai-nilai tersebut “dipasung” oleh tokoh atau kelompok tertentu dan
diformulasikan ke dalam mitos. Tindakan yang bersifat manipulatif ini
menjadikan ajaran agama kehilangan nilai-nilai luhurnya. Menurut Komarudin
Hidayat, pada tingkatan tertentu, alam pikiran mitologis cenderung anti sejarah
dan anti peradaban modern. Realitas yang ada dipandang semu, maya, imitasi dan
tidak sempurna dari arketipe yang ada di alam surgai. Selanjutnya, pemikiran
mitologis ini muncul dalam dua bentuk paradoksal. Pertama, radikalisme-ekspasis,
berusaha melepas kehidupan dunia, hidup bertapa, membebaskan diri dari berbagai
kenikmatan duniawi yang dianggap racun dan bersifat maya. Kedua, radikalisme-teologis,
membangun komunitas ekslusif sebagai Suburo Sakai tidak disambut sebagai
layaknya seorang pahlawan perang. Sebaliknya, masyarakat yag datang menyambut,
bukan untuk mengelu-elukan melainkan untuk mencemooh dan mengejeknya.
Terorisme
Berjubah Agama tulisan Ridwan
Al-Makassary sebenarnya sudah menggambarkan secara utuh mengenai penyimpangan
nilai-nilai luhur ajaran agama oleh pemeluknya. Kajian psikologi agama melihat
bahwa terorisme merupakan bagian dari tingkah laku keagamaan yang menyimpang.
Gerakan seperti itu tak lepas dari faktor-faktor kejiwaan yang memengaruhi para
pendukungnya. Faktor-faktor tersebut antara lain mencakup:
1.
Konsep messianisme
2.
Menebus dosa
3.
Menumpuk kebencian
E.
Fatalisme
Sikap pasrah yang mengarah kepada fatalisme dapat dikategorikan
sebagai tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Sikap seperti ini setidaknya
mengabaikan fungsi dan peran akal secara normal. Padahal agama menempatkan akal
pada kedudukan yang tinggi.
Secara psikologis, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi
munculnya fatalisme, yaitu:
a. Pemahaman yang Keliru
b. Otoritas Agamawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar