Minggu, 06 Oktober 2019

TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG


RESUME KELOMPOK 13
TINGKAH LAKU KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
A.    Aliran Klenik
Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI, 1989:409). Dalam kehidupan masyarakat, umumnya klenik ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan, hingga sering dikatakan dukun klenik. Dalam kegiatannya dukun ini melakukan pengobatan dengan bantuan guna-guna atau kekuatan gaib lainnya.
Penyimpangan tingkah laku keagamaan yang dilakukan aliran klenik seperti ini menurut Robert H. Thouless dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi sugesti. Istilah ini digunakan oleh para ahli psikologi untuk proses yang diamati dalam berbagai eksperimen dengan hipnotisme. Dalam analisisnya, Robert H. Thouless mencontohkan bagaimana tukang hipnotis meyakinkan seseorang melalui persepsi yang diciptakannya.
Dalam kenyataan di masyarakat praktik yang bersifat Klenik memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu:
1.      Pelakunya menokohkan diri selaku orang suci dan umumnya tidak memiliki latar belakang yang jelas (asing).
2.      Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang berhubungan dengan hal-hal gaib.
3.      Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.
4.      Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
5.      Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.
B.     Konversi Agama
1.    Pengertian Konversi Agama
a.       Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari kata lain “conversio” yang berarti: tobat, pindah dan berubah (agama).
b.      Pengertian konversi agama menurut terminologi. Menurut pengertian ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama antara lain:
1.      Max Heirich mengatakan, bahwa konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
2.      Willian James mangatakan, konversi agama adalah dengan kata-kata: to be convered, to be regenerated, to receive grace, to experience religion.
Konversi agama banyak mengatakan masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada. Selain itu, konversi agama yang dimaksudkan uraian di atas memuat beberapa pengertian dengan ciri-ciri:
a.       Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
b.      Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
c.       Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama  lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri.
d.      Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perunahan itu pun disebabkan faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
2.    Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
a.       Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi.
b.      Para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu sendiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
1.      Pengaruh hubungan antar pribadi
2.      Pengaruh kebiasaan yang rutin.
3.      Pengaruh anjuran atau propoganda dari orang-orang yang dekat.
4.      Pengaruh pemimpin keagamaan.
5.      Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi..
6.      Pengaruh kekuasaan pemimpin.
c.       Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern.
Faktor yang melatarbelakanginya timbul dari dalam diri (intern) dan dari lingkungan (ekstern).
a.       Faktor Intern, yang ikut mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah:
1)      Kepribadian
2)      Faktor Pembawaan
b.      Faktor ekstern (faktor luar diri)
1.      Faktor keluarga
2.      Lingkungan tempat tinggal
3.      Perubahan status
4.      Kemiskinan
c.       Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut memengaruhi konversi agama.
3.    Proses Konversi Agama
Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Proses konversi ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
M.T.L. Penido berpendapat, bahwa konversi agama mengandung dua unsur yaitu:
a.       Unsur dari dalam diri (endogenos origin),
b.      Unsur dari luar (exogenos origin)
Perubahan yang terjadi tetap pertahapan yang sama dalam bentuk kerangka proses secara umum.
Kerangka proses itu dikemukakan antara lain oleh:
a.       H. Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut:
1.      Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang dialami.
2.      Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru.
Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama.
3.      Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya.
4.      Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.
b.      Dr. Zakiah Daradjat, memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui lima tahap yaitu:
1.      Masa tenang
2.      Masa ketidaktenangan
3.      Masa konversi
4.      Masa tenang dan tentram
5.      Masa Ekspresi konversi
C.    Konflik Agama
1.      Pengetahuan Agama yang Dangkal
2.      Fanatisme
3.      Agama sebagai Doktrin
4.      Simbol-Simbol
5.      Tokoh Agama
6.      Sejarah
7.      Berebut Surga
D.    Terorisme dan Agama
Terorisme berasal dari kata teror, yang secara etimologi mencakup arti: 1. Perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya); 2. Usaha menciptakan kekuatan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau menimbulkan kekuatan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik (kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 939). Jadi, terorisme mungkin dilakukan oleh siapa saja, baik pemerintah, golongan atau perorangan.
Merujuk tujuan yang menjadi targetnya adalah politik, sebenarnya terorisme sama sekali tidak terkait dengan agama. Namun, akhir-akhir ini mulai berkembang suara bernada “miring” untuk mengaitkan terorisme dengan gerakan keagamaan.
1.      Fundamentalisme
Istilah “fundamentalisme’ menjadi semacam keyakinan kristen dengan dapat menempatkan diri untuk keperluan umum dan akademik.
Thomas Meyer kemudian merinci empat karakter gerakan fundamentalis: 1) Penggunaan tidak tepat atas keseluruhan isi al-Kitab, 2). Pernyataan bahwa semua teologi, agama dan ilmu pengetahuan adalah tindak berlaku, bilamana bertentangan dengan kata-kata dalam Al-Kitab; 3). Keyakinan, bahwa siapa saja yang keluar dari teks Al-Kitab (sesuai dengan interpretasi kaum fundamentalisme) dapat menjadi seorang Kristen yang benar, walaupun dengan yakin menyatakan demikian, dan 4). Keyakinan yang pasti untuk membatalkan pemisahan modern atas gereja dan negara, agama dan politik demi kepentingan politik, dengan cara menginterpretasikan agama sebagai jalan masing-masing bilamana ketentuan hukum/politik dalam masalah krusial bertentangan dengan etika masing-masing.
2.      Radikalisme
Terorisme menampilkan ciri berupa ancaman dan kekerasan, dengan sasaran sipil (non-militer) yang dilatarbelakangi oleh tujuan politik. Adapun maksud dari terorisme antara lain menciptakan chaos (kekacauan), demoralisasi dan disfungsi sosial. Gerakan-gerakan seperti ini sering dikaitkan dengan radikalisme, yaitu paham atau aliran yang menghendaki pembaruan sosial atau politik dengan cara keras dan drastis. Oleh karena itu, radikalisme diidentikkan dengan sikap eksterm dalam aliran politik (KBBI, 1990: 719)
3.      Mitos-mitos Keagamaan
Ajaran agama sebenarnya berisi nilai-nilai luhur. Namun demikian, nilai-nilai tersebut “dipasung” oleh tokoh atau kelompok tertentu dan diformulasikan ke dalam mitos. Tindakan yang bersifat manipulatif ini menjadikan ajaran agama kehilangan nilai-nilai luhurnya. Menurut Komarudin Hidayat, pada tingkatan tertentu, alam pikiran mitologis cenderung anti sejarah dan anti peradaban modern. Realitas yang ada dipandang semu, maya, imitasi dan tidak sempurna dari arketipe yang ada di alam surgai. Selanjutnya, pemikiran mitologis ini muncul dalam dua bentuk paradoksal. Pertama, radikalisme-ekspasis, berusaha melepas kehidupan dunia, hidup bertapa, membebaskan diri dari berbagai kenikmatan duniawi yang dianggap racun dan bersifat maya. Kedua, radikalisme-teologis, membangun komunitas ekslusif sebagai Suburo Sakai tidak disambut sebagai layaknya seorang pahlawan perang. Sebaliknya, masyarakat yag datang menyambut, bukan untuk mengelu-elukan melainkan untuk mencemooh dan mengejeknya.
Terorisme Berjubah Agama tulisan Ridwan Al-Makassary sebenarnya sudah menggambarkan secara utuh mengenai penyimpangan nilai-nilai luhur ajaran agama oleh pemeluknya. Kajian psikologi agama melihat bahwa terorisme merupakan bagian dari tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Gerakan seperti itu tak lepas dari faktor-faktor kejiwaan yang memengaruhi para pendukungnya. Faktor-faktor tersebut antara lain mencakup:
1.      Konsep messianisme
2.      Menebus dosa
3.      Menumpuk kebencian
E.     Fatalisme
Sikap pasrah yang mengarah kepada fatalisme dapat dikategorikan sebagai tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Sikap seperti ini setidaknya mengabaikan fungsi dan peran akal secara normal. Padahal agama menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi.
Secara psikologis, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalisme, yaitu:
a.       Pemahaman yang Keliru
b.      Otoritas Agamawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar