Minggu, 06 Oktober 2019

PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN


RESUME KELOMPOK 10
PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.    Pendidikan Keluarga
Barangkali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengeherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagaian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga (Gilbert Highest, 1961:78).
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H. Clark, berjalan dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiawaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat didalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiawaan ini pulalah agama itu berkembang (W.H. Clark, 1964:4). Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanmkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada kedua orangtua.
Menurut Rasul Allah Saw, fungsi dan peran orangtua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan di anut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orangtua mereka.
B.     Pendidikan Kelembagaan
Dimasyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlakukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapat dipastikan dia akan menjadi petani seperti orangtua dan masyarakat di lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu.
Selain itu, sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain untuk lebih mengarahkan anak-anak mereka masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya, para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentuk jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
C.    Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga,kelembagaan penddikan, dan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan pula bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadapa hidup bersama tanpa nikah (Djamaludin Ancok, 1994; 27). Dan kasus seperti ini mungkin kan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.
Di sini  terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jia keagamaan dibandingkan dengan masyarkat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberpa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.

D.    Agama dan Masalah Sosial
Tumbuh dan berkembangannya kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila diingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sukit untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah mengatkan: “bila anak tidak dididik oleh orang tuannya, maka ia akan dididik oleh siang dan malam”. Maksudnya, pengaruh lingkungannya akan mengisi dan memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan di kota-kota, terutama kota-kota besar, anak-anak yang kehilangan hubungan dengan orang tua cukup banyak. Mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karea yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
 Secara umum, anaka jalanan merupakan anak yatim. Bak karena berstatus seagai yatim sepenuhnya, karena mereka sudah kehilangan orag tua atau teryatimkan. Erka yag teryatimkan ini adalah yang masih mempunyai orang tua, tetapi sudah lepasdari hubungan dari orang tua mereka. Hiduop tanpa pemeliharaan dan pengawasan orang tua menjadikan anak jalanan berhadapan dengan kehidupan yang keras serta eterkesan “ liar”.
Dalam kesehariannya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok sebaya atau dalam kegiatan yang sama. Ada keloopok pengamen, pemulung,pengemis,dan sebagainya. Mengamati lingkungan pergaulan sehari-hari serta kegiayan yang mereka lakukan, maka kasusu anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawana sosial, juga kerawanan dalam nilai-nilai keagamaan. Bahkan di kota-kota besar, mereka ini seakan sudah terbentuk menjadi golongan reesendiri di masyarakat, yakni masyarakat rentan.
Sebagai masyarakat rentan, golongan ini seakan berada di luar lingkungan budaya dan tradisi masyarakat umum. Boleh dikatakakn mereka mempunyai “budaya” sendiri yang terbentuk di luar kaidah nilai-nilai yang berlaku. Pola kehidupan yang cederung permisif (serba boleh), menjadikan anak jalan rawan sentuhan berbagai pengaruh buruk.
Bila konflik agam dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama, dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat terjadi karena kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini, tindakan emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dpat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif. Dengan demikian, mereka akan mudah terfrovokasi oleh berbagai isu yang berkembang.
Meskipun anak-anak jalanan ini sering digolongkn sebagai kelompok masyarakat yang termaginalisasikan, namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan pengaruh lingkungan yang membawa mereka kedalam kehidupan yang demikian. Semuanya menjadikan mereka kehilangan alternatif dan kemampuan untuk menentuka jalan hidupnya. Oleh karena itu, tanggung jawab ini terbebankan kepada masyarakat secara keseluruhan.
 Dalam konteks ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan. Demikian pula organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalnan ataupun menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, bagaimanapun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang memerlukan penangan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagia dari masalah keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar