RESUME KELOMPOK 10
PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.
Pendidikan Keluarga
Barangkali sulit
untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa bayi
hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak mengeherankan
jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak
sebagaian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur
hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan
dari lingkungan keluarga (Gilbert Highest, 1961:78).
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.
Perkembangan agama menurut W.H. Clark, berjalan dengan unsur-unsur kejiwaan
sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang
menyangkut kejiawaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian,
melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin
dan terlibat didalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiawaan ini
pulalah agama itu berkembang (W.H. Clark, 1964:4). Dalam kaitan itu pulalah
terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanmkan jiwa keagamaan pada anak.
Maka tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada kedua
orangtua.
Menurut Rasul
Allah Saw, fungsi dan peran orangtua bahkan mampu untuk membentuk arah
keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah
memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan di anut
anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua
orangtua mereka.
B.
Pendidikan Kelembagaan
Dimasyarakat
primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik
di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara
kelembagaan memang belum diperlakukan, karena variasi profesi dalam kehidupan
belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapat
dipastikan dia akan menjadi petani seperti orangtua dan masyarakat di
lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan, ataupun anak masyarakat
pemburu.
Selain itu,
sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan
adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua
untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.
Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua
sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama
memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain
untuk lebih mengarahkan anak-anak mereka masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau
sebaliknya, para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan
memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan
sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak
tersebut.
Pendidikan agama
di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentuk jiwa
keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat
tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami
nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan
nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana
membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
C.
Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat
merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat
bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah
keluarga,kelembagaan penddikan, dan masyarakat. Keserasian antara ketiga
lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan
anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Dalam ruang
lingkup yang lebih luas dapat diartikan pula bahwa pembentukan nilai-nilai
kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan
lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun
terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini
ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadapa hidup bersama tanpa
nikah (Djamaludin Ancok, 1994; 27). Dan kasus seperti ini mungkin kan lebih kecil
di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.
Di sini terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap
masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat santri
barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jia keagamaan
dibandingkan dengan masyarkat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap
norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam
pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberpa jauh masyarakat
tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.
D.
Agama dan Masalah Sosial
Tumbuh dan
berkembangannya kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama
(religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus.
Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya
pendidikan. Adapun pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam
keluarga. Apabila diingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan
agama, biasanya sukit untuk memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang
memadai.
Pepatah
mengatkan: “bila anak tidak dididik oleh orang tuannya, maka ia akan dididik
oleh siang dan malam”. Maksudnya, pengaruh lingkungannya akan mengisi dan
memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan di kota-kota, terutama
kota-kota besar, anak-anak yang kehilangan hubungan dengan orang tua cukup
banyak. Mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut mencari nafkah
seharian ataupun karea yatim piatu. Anak-anak ini sering disebut anak jalanan.
Secara umum, anaka jalanan merupakan anak
yatim. Bak karena berstatus seagai yatim sepenuhnya, karena mereka sudah
kehilangan orag tua atau teryatimkan. Erka yag teryatimkan ini adalah yang
masih mempunyai orang tua, tetapi sudah lepasdari hubungan dari orang tua mereka.
Hiduop tanpa pemeliharaan dan pengawasan orang tua menjadikan anak jalanan
berhadapan dengan kehidupan yang keras serta eterkesan “ liar”.
Dalam
kesehariannya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok sebaya atau dalam
kegiatan yang sama. Ada keloopok pengamen, pemulung,pengemis,dan sebagainya.
Mengamati lingkungan pergaulan sehari-hari serta kegiayan yang mereka lakukan,
maka kasusu anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawana sosial, juga
kerawanan dalam nilai-nilai keagamaan. Bahkan di kota-kota besar, mereka ini
seakan sudah terbentuk menjadi golongan reesendiri di masyarakat, yakni
masyarakat rentan.
Sebagai
masyarakat rentan, golongan ini seakan berada di luar lingkungan budaya dan
tradisi masyarakat umum. Boleh dikatakakn mereka mempunyai “budaya” sendiri
yang terbentuk di luar kaidah nilai-nilai yang berlaku. Pola kehidupan yang
cederung permisif (serba boleh), menjadikan anak jalan rawan sentuhan berbagai
pengaruh buruk.
Bila konflik
agam dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama,
dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat terjadi karena
kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini, tindakan
emosional dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya
nilai-nilai yang dpat mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif.
Dengan demikian, mereka akan mudah terfrovokasi oleh berbagai isu yang
berkembang.
Meskipun
anak-anak jalanan ini sering digolongkn sebagai kelompok masyarakat yang
termaginalisasikan, namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan
pengaruh lingkungan yang membawa mereka kedalam kehidupan yang demikian.
Semuanya menjadikan mereka kehilangan alternatif dan kemampuan untuk menentuka
jalan hidupnya. Oleh karena itu, tanggung jawab ini terbebankan kepada
masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks ini sebenarnya institusi
pendidikan agama dapat berperan. Demikian pula organisasi keagamaan. Membiarkan
anak jalnan ataupun menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah, bagaimanapun
bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang memerlukan
penangan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi
bagia dari masalah keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar