Rabu, 14 Februari 2018

Makalah Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi'ah (Syi'i)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku; ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pehamaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah yang pertama sering disebut tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, tasawuf Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf  yang berorientasi ke arah kedua disebut tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, di samping sebagai sufi.
Selain kedua perkembangan  tasawuf tersebut ada juga perkembangan tasawuf Syi’ah atau Syi’i. Kemudian pada makalah ini penulis akan menjelaskan bagaimana sejarah perkembangan  tasawuf Syi’ah atau Syi’i.

B.     Rumusan Masalah
1.    Jelaskan Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’ah (Syi’i)









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’ah (Syi’i)
Tasawuf syi’ah bisa disebut juga tasawuf syi’i. Kaum syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawwiyah bin Abu Sufyan), para pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan Persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya.[1]
   Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini terdapat keserupaan, khususnya dalam persoalan “quthb” atau “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran isma’ilyyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga, tentang pakaian compang-camping yang disebut-sebut bersal dari Imam Ali.[2]
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan Sunni dalam persoalan tasawuf. Dengan alasan, pertama, tidak dikenal terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, widhatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apapun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Didalam tradisi Syi’ah, dua aliran tasawuf (akhlaqi dan falsafi) juga diadopsi. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul Hikam, tetapi orang Syi’ah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sunni. Bahkan, banyak juga orang Syi’ah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.[3]
Di sisi lain, Ath-Thabthaba’i mencoba menjelaskan bahwa tasawuf pada dasarnya berasal dari Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu makrifat atau tasawuf seperti diamati pada masa kini, mula-mula timbul dalam dunia Sunnah kemudian dikalangan kaum Syi’ah. Orang menyatakan secara terbuka sebagai Sufi dan penganut ilmu makrifat, dan diakui sebagai mursyid atau guru rohani dari tarekat orang-orang sufi, dalam bidang fiqh Islam tampaknya mengikuti paham Sunni. Banyak mursyid yang mengikuti mereka dan menyebarkan ajaran tarekat yang juga pengikut Sunni dalam fiqh. Walaupun begitu, para mursyid ini menarik mata rantai silsilah kerohanian mereka, yang dalam kehidupan rohani seperti silsilah keturunan dari seseorang, melalui mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada Ali. Juga hasil kasysyaf (vision) dan ilham mereka, seperti diriwayatkan, kebayakan memuat kebenaran mengenai keesaan Ilahi dan martabat kehidupan rohani, yang terdapat dalam ucapan-ucapan Ali dan para Imam Syi’ah lainnya.[4]
Hal ini bisa kita lihat –jika tak terpengaruh oleh beberapa ungkapan tajam dan kadang-kadang mengejutkan dari para guru tasawuf ini dan merenungkan keseluruhan isi ajaran-ajaran mereka dengan tenang dan sabar. Kewalian sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian manusia, adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syi’ah dipunyai sepenuhnya oleh imam dan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Dan Puncak Kerohanian (quthub) yang kehadirannya dianggap perlu oleh semua kaum sufi di sepanjang zaman—sebagaimana juga sifat-sifat yang dikaitkan dengannya—ada pertaliannya dengan konsepsi kaum Syi’ah mengenai Imam. Sesuai dengan ucapan ahlul bait, imam, atau menurut istilah kaum sufi, ‘‘Manusia Universal”, adalah manifestasi nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian terhadap kehidupan dan perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata dengan mempertimbangkan konsepsi kaum Syi’ah mengenai walayat, bahwa dari sudut pandangan tentang kehidupan rohani dan dalam kaitannya dengan sumber walayat, para mursyid tasawuf adalah ‘‘orang-orang Syi’ah’’ walaupun dari sudut pandangan bentuk lahiriah agama, mereka mengikuti mazhab fiqh Sunni.[5]
Perlu disebutkan disini bahwa dalam uraian-uraian Sunni klasik kadang-kadang dikatakan bahwa metode kerohanian dari thariqah atau cara-cara yang dapat menyampaikan seseorang pada pengetahuan dan kesadaran tentang dirinya tidak bisa diterangkan melalui bentuk-bentuk dan ajaran-ajaran yang lahir dari Syariat. Bahkan, sumber-sumber bahwa pribadi-pribadi muslim sendiri menemukan berbagai metode dan amal, yang kemudian diterima Tuhan, seperti halnya kehidupan biara dalam agama Nasrani. Oleh karena itu, para mursyid menyusun amalan-amalan tertentu yang dianggap perlu dalam metode kerohanian, seperti bentuk upacara penerimaan murid oleh mursyid, rinci-rinci cara yang didalamnya dzikir-dzikir diajarkan kepada sang murid baru bersama pengenalan jubah kepadanya, dan pengguna musik, nyanyian dan cara-cara lain yang menyebabkan fana’ (ekstase) selama menyebutkan nama-nama Tuhan.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasawuf syi’ah bisa disebut juga tasawuf syi’i. Kaum syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawwiyah bin Abu Sufyan), para pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan Persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka.


[1] Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) , hal. 71-72
[2] Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-, Sufi dari Zama ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 192
[3] Azyumardi Azka, Persamaan dalam Tasawuf, dalam www.abatasya.net.
[4] Allamah M.H. Thabathaba’i, Islam Syi’ah, Asal-Usul dan Perkembangannya, terj. Djohan Effendi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hal. 128
[5] Solihin dan Rosihon Anwar, Op.Cit., hal. 74

Makalah Perpecahan Umat Islam Sesudah Wafatnya Rasulullah SAW



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika wafatnya Rasulullah SAW dengan sengaja beliau tidak menujuk siapa yang akan menjadi Khalifah selanjutnya, namun mempersiapkan kader untuk menjadi pemimpin. Walaupun status Rasulullah SAW tidak dapat diturunkan, namun pemimpin dapat diturunkan. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar terbilang stabil, munculnya perpecahan dalam sejarah islam bermula setelah Khalifah Utsman bin Affan dibunuh oleh sekelompok pemberontak yang menganggap Utsman tidak adil dalam mengambil kebijakan selama menjadi Khalifah. Ketika Ali bin Abi Tholib dilantik sebagai Khalifah untuk menggantikan Utsman, para pemberontak itu hadir dan mengadakan pendekatan kepada Ali dengan maksud mendukungnya yang dipelopori oleh Al-Gafiqi dari pemberontak Mesir sebagai pemberontak terbesar namun Ali menolaknya. Terlebih mereka memusuhi Khalifah Ali bin Abi Tholib dikemudian hari. Perkara ini menjadi penyebab utama perpecahan umat Islam.
          Sehingga di kemudian hari umat Islam semakin terpecah dan terbentuk banyak firqah-firqah kalam. Perpecahan itu terjadi karna perbedaan pemikiran antar umat Islam. Secara garis besar firqah-firqah itu terbentuk karna 2 faktor yaitu: Faktor Internal dan Faktor Eksternal. Faktor internal mencakup beberapa hal yaitu: Dorongan dan Pemahaman Al-Qur’an, Persoalan Politik, Adanya kepentingan kelompok atau golongan. Sedangakan Faktor Eksternal (Faktor ini muncul dari luar umat islam) mencakup beberapa hal yaitu: Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam, dan Filsafat Yunani.
B.Rumusan Masalah
1.      Jelasakan Perpecahan Umat Isam Sesudah Wafatnya Rasulullah Saw?
2.      Adakah Jejak Pemikiran Kalam Setelah Perpecahan Umat Islam Sesudah Wafatnya Rasulullah Saw Pada Masa Sekarang?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perpecahan Umat Islam Sesudah Wafatnya Rasulullah Saw
1.      Kesatuan Akidah
Di zaman Nabi Muhammad Saw. Umat islam dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk dibidang akidah. Kalau ada hal-hal yang diperselisihkan di antara para sahabat, mereka mengembalikan persoalannya kepada Nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.
Di masa pemerintahan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dan khalifah Umar bin Khatab, keadaan umat islam masih tampak kompak seperti keadaannya pada masa Nabi. Pada waktu itu tidak ada kesempatan bagi umat islam untuk mencoba membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan akidah dan juga bidang-bidang lainnya. Mereka lebih memusatkan perhatian dan pikirnnya untuk pertahanan dan perluasan daerah Islam di bawah pimpinan khalifah.[1]
Semasa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq (11-13 H/ 632-634 M) misalnya, perhatian dipusatkan untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan beberapa Nabi palsu. Nabi-nabi palsu itu seperti Musailamah al-Kaddzab, yang mengaku bahwa Allah Swt. telah memberikan pangkat nabi kepadanya bersamaan dengan kenabian Nabi Muhammad Saw. Karena kebohongannya itulah dia disebut al-Kaddzab, artinya si pendusta. Pengikutnya banyak tersebar di Yamamah. Selain itu, adalagi beberapa Nabi palsu, seperti Thulaihah bin Khuwailid, dan Sajah Tamimiyah, seorang wanita yang kemudian kawin dengan musailamah al-Kaddzab dan Al-Aswad al-Ansie.
Setahun lamanya khalifah Abu Bakar memerlukan waktu untuk menundukkan orang-orang murtad itu, Nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Dalam kemenangan kaum muslimin ini, kehormatan besar diberikan kepada panglima perang, Khalid bin Walid, dengan gelar Saifullah. Artinya “pedang Allah”. Dialah yang menghancurkan kekuatan Thulaihah dan Sajah, yang  akhirnya mereka masuk ke dalam Islam. Dan dia pulalah yang menghancurkan pasukan Musailamah al-Kaddzab, sehingga si pendusta itu terbunuh dalam peperangan,
Setelah kemenangan-kemenangan tersebut , maka timbul kecemasan dari sahabat Umar bin Khattab, karena banyak para huffadz yang gugur sebagai syuhada dalam peperangan tersebut. Maka Umar pun lalu usul kepada khalifah Abu Bakar agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf, yang dulunya tersimpan dalam dada para huffadz dan berserakan tulisannya pada batu, tulang, pelepah kurma, kulit binatang dan sebagainya. Mushaf yang pertama ini mula-mula disimpan di rumah Khalifah Abu Bakar, kemudian berpindah ke rumah Umar sewaktu menjabat khalifah. Sesudah Umar wafat, maka mushaf itu disimpan di rumah Hafsah binti Umar, salah seorang istri Rasul saw.
Khalifah Abu Bakar juga menghadapkan seluruh niatnya menaklukkan beberapa negeri untuk memperluas penyiaran agama dan guna memalingkan pikiran umat Islam dari perselisihan sesama mereka. Untuk itu, maka dikirimlah pasukan untuk menaklukkan negeri Persia dan Roma.
Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/ 634-644 M), seorang bagsawan dan pahlawan berhasil menaklukkan beberapa negeri secara gemilang. Pada masa pemerintahannya adalah masa ekspansi dan pembagunan. Dia menaklukkan negeri-negeri Syam (639 M), Persia (624 M), Irak (636 M), Mesir (641 M).
Dibidang pemerintahan, dia memperbaiki dan menyempurnakan administrasi negara, jabatan-jabatan kehakiman, masalah-masalah sosial dan sebagainya. Suatu hal yang tidak kalah pentingnya ialah penetapan “tahun hijriyah” sebagai tahun resmi umat Islam.
Memperhatikan kesibukan-kesibukan pada masa kedua khalifah tersebut, menyebabkan keadaan umat Islam bersatu dalam akidah dan masalah-masalah agama. Kalau toh ada hal-hal yang diperselisihkan itu hanya pada masalah furu’iyah saja, bukan masalah ushuliyah akidah.[2]
Telah berlalu zaman Nabi, di mana beliau telah melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhat. Kedua khalifah sesudahnya , yaitu Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab, berjuang sepanjang usianya untuk melawan musuh-musuh Islam sambil memadu tekat bulat dengan para sahabat, sehingga tidak ada sedikit pun peluang bagi orang untuk memperdayakan dan mengutik-atik masalah akidah. Apabila timbul perbedaan pendapat, maka khalifah cepat-cepat  mengatasi persoalan.
Biasanya perselisihan-perselisihan itu timbul sekitar masalah-masalah furu’iyah saja, tidak mengenai ushuliyah akidah. Keadaan umat zaman khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab itu cukup mengerti akan isyarat-isyarat  Al-Qur’an dan nash-nashnya. Terhadap ayat-ayat mutasyabihat, mereka serahkan kepada Allah Swt. Dan sama sekali tidak mau menakwilkannya. Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang samar-samar pengertiannya. Pendirian para sahabat tentang ayat-ayat mutasyabihat itulah yang kemudian diikuti oleh kau salaf, yang mengambil pengertian tentang sifat-sifat Allah Swt. Dengan makna-makna lafal menurut logat, serta menyucikan Allah Swt. Daripada menyerupai-Nya dengan sesuatu diantara makhluk-Nya. Sebagaimana keadaan Dzat-Nya tidak seperti dzat-dzat yang lain, maka demikian pula sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadi peristiwa yang menimpa khalifah Utsman Bin Affan (23-35 H/644-656 M). Dia dibunuh oleh para pemberontak dari Mesir yang tidak puas terhadap kebijakan politikmya. Sejak peristiwa terbunuhnya khalifah yang ketiga (35 H/656 M) itulah soko-guru khalifah rusak binasa. Umat Islam terjerumus ke dalam benturan-benturan yang menyebabkan mereka menyimpang dari jalan yang lurus yang selama ini telah mereka lalui. Timbulnya bencana atas Islam dan umatnya hanya mengakibatkan kepada diri mereka sendiri, tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap Al-Qur’an , yang telah dijamin Allah Swt. Untuk memelihara keasliannya, sehingga ia tetap merupakan hujjah baginya.[3]
Firman Allah Swt.:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)

2.      Infiltrasi Abdullah Bin Saba’
Biang keladi timbulnya fitnah di kalangan umat Islam ialah Abdullah bin Saba’, pendeta agama Yahudi berasal dari Persia yang pura-pura masuk Islam. Sesudah memeluk Islam, dia datang ke Madinah pada mas akhir pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, tahun 30 H, dengan harapan akan mendapatkan sambutan dan penghargaan dari khalifah. Ternyata harapan tersebut meleset dari angan-angannya. Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa Abdullah bin Saba’ masuk Islam memang bertujuan hendak merusakkan Islam dari dalam.
Dia kemudian membenci khalifah Utsman, karena tidak memberikan sambutan yang diharapkan, melancarkan propaganda anti khalifah dan menyanjung-nyanjung Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Propaganda masyarakat ketika itu, seperti di kota Madinah sendiri, Mesir, Kufah, Basrah, dan lain-lain, karena khalifah Utsman menghilangkan cincin stempel Nabi Muhammad Saw. Dan suka mengangkat jabatan-jabatan penting negara dari kalangan sukunya sendiri, yaitu orng-orang Bani Umayah.
Abdullah bin Saba’ sangat berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan Sayyidina Ali, berani membuat hadis-hadis maudhu’ untuk  memujanya dan merendahkan martabat khalifah Abu Bakar, Umar, dan terutama Utsman. Dia mengatakan dalam tubuh Sayyidina Ali itu terdapat unsur ketuhanan yang menitis padanya, sehingga dia mengetahui segala yang gaib. Propaganda Abdullah bin Saba’ itu tampak sekali terpengaruh dari kepercayaan orang-orang Persia terhadap Kisro sebagai berikut.[4]
“karena sesungguhnya orang-orang Persia itu telah terbiasa pada kekuasaan Kisro Persia, mengagungkan dan menyucikan keluarga Kisro. Dan sesungguhnya darah Kisro bukanlah sejenis darah manusia biasa. Tatkala mereka itu masuk Islam memandang kepada Nabi Muhammad Saw. Seperti pandangan mereka terhadap keluarga Kisro. Tatkala Nabi Muhammad Saw. Wafat, maka yang paling berhak menggantinya adalah keluarganya sendiri.”
Selanjutnya diperjelas oleh Abduh mengenai peranan Abdullah bin Saba’ sebagai berikut.
“Diantara orang-orang yang berusaha keras menyebarkan fitnah adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang baru saja masuk Islam. Dia berlebih-lebihan mencintai Sayyidina Ali kw., dia beranggapan bahwa Allah Swt. Telah menitis pada diri Sayyidina Ali. Dia mulai mendakwakan bahwa Ali yang lebih berhak menjadi khalifah. Untuk itu, dia menyerang khalifah Ustman dengan sengitnya, sehingga akibatnya dia dibuang. Kemudian dia pergi ke Basrah, dan di sana dia menyebarluaskan fitnah pula. Maka khalifah Utsman menyuruh pergi dari Basrah. Dia kemudian pergi ke Kufah, lalu pergi ke negeri Syam. Di sana dia tidak memperoleh apa yang diinginkan. Kemudian dia pergi ke Mesir. Di sana dia memperoleh banyak pengikut atas fitnahnya itu, sehingga terjadilah apa yang telah kami sebutkan di atas. Kemudian pada masa khalifah Ali, dia menyebarkan lagi ajaran-ajarannya, sehingga khalifah Ali membuangnya ke Mada’in. Namun demikian, ajaran-ajaran Abdullah bin Saba’ ini merupakan kuman bagi persengketaan di kemudian hari bagi golongan-golongan yang sangat fanatik. Sesungguhnya apa yang diperbuat Abdullah bin Saba’ itu, suatu tundakan kebencian kepada Islam, bukan kecintaan kepada Ali ra. Sebab dia masuk Islam merupakan tipu muslihat belaka. Untuk itu, dia memperoleh penghargaan dari orng-ornag Yahudi. Seperti, itu pulalah sikap sebagian orang-orang Majusi Persia yang berpura-pura Islam dan fanatik kepada Sayyidina Ali dan kaum kerabat Nabi Muhammad Saw. Sebenarnya, mereka bertujuan menghancurkan Islam dan mebinasakan pemerintahannya dengan cara memecah belah di antara sesama Islam.”[5]
Sebagai orang Yahudi, Abdullah bin Saba’ berselubung pura-pura masuk Islam dengan beberapa kepentingan. Dia berkepentingan mencari fasilitas pribadi kepada khalifah Utsman bin Affan. Tujuan ini ternyata tidak memperoleh harapan apa-apa. Karena itu lalu ia menyebarkan berbagai fitnah, ternyata mempunyai akibat fatal yaitu terbunuhnya khalifah Utsman bi Affan. Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Saba’ menyebarkan fitnah lagi, menyebarkan ajaran-ajaran yang menodai tauhid Islam, antara lain menganggap Sayyidina Ali sebagai penitisan Tuhan, menonjol-nonjolkan dan sanjungan yang berlebih-lebihan. Semuanya itu dilakukan bertujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Hal yang sama dilakukan oleh Abdullah bin Saba’, adalah dilakukan oleh orang-orang Majusi Persia.
Hal yang sama dan betul-betul berhasil adalah pada agama Kristen. Yaitu Paulus atau Saul seorang yang tidak pernah menjadi murid Yesus, bahkan memusuhi agama Kristen ini. Dalam perjalanannya menuju Damaskus hendak menangkap semua orang yang percaya kepada Yesus untuk dimasukkan ke dalam pejara, secara tiba-tiba ia beralih haluan, menyatakan kesaksian atas Yesus.
Selanjutnya dia yang kemudian dikenal Rasul Paulus mengajarkan agama Kristen hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Yesus itu sendiri, berhasil mengalihkan ajaran Tauhid berubah menjadi tatslits (trinitas) menghapuskan Khitan, menghalalkan daging yang najis, membatalkan hukum Taurat, mengajarkan dosa warisan, penebusan dosa sekalian manusia dengan penyaliban Yesus, dan Yesus adalah bayangan Allah Swt.[6]

3.      Hadis-Hadis Tentang Terjadinya Perpecahan Umat Islam
Sebelum Rasulullah Saw. Meninggal dunia, beliau pernah bersabda, bahwa umat Islam akan berpecah-belah. Dan perpecahan itu, akan terjadi sebanyak 73 firqah. Di antara firqah yang sekian banyakitu hanya satu yang dianggap benar, dan dijamin masuk bebas dari siksaan api neraka. Yaitu golongan yang dinamakan: “Ahli Sunnah Wal Jama’ah”. Sedang yang 72 firqah lainnya dimasukkan ke dalam api neraka.
Berikut beberapa contoh hadis nya:

وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. اَلنَّاجِيَةُ مِنْهَاوَاحِدٌ وَالْبَاقَوْنَ هَلْكَى. قِيْلَ وَمَنِ النَّاجِيَةُ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ. قَالَ مَاأَنَاعَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي (ا لحديث)

“Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Di antara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja. Sedangkan lainnya adalah binasa (sesat, pen). Ditanyakan oleh sahabat: Siapakah golongan yang selamat itu? Nabi Saw. Menjawab: Yaitu golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ditanyakan lagi: Apakah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu? Nabi Saw. Menjawab: yaitu golongan yang mengikuti jejakku dan jejak sahabatku.” (Al-Hadis)

إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيْلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَا عَةُ. (رواه ابن ماجه عن انس بن مالك)
Sesungguhnya Bani Isra’il telah terpecah-belah menjadi 71 golongan, dan umatku akan terpecah-belah menjadi 72 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja yang selamat, yaitu golongan al-Jama’ah.” (HR. Ibnu Majah dari Anas Bin Malik)

Perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam yang diterangkan dalam hadis-hadis tersebut sebanyak 73 golongan, dalam kitab Al-Farqu Baina I-Firaq oleh Syaikh Al-Bagdadi diterangkan secara terinci.
Kemudian satu dari 73 golongan tersebut ialah golongan
مَااَنَا عَلَيْهَ وَأَصْحَا بِي  yang selamat dari siksaan api neraka, yang disebut golongan Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Jadi bilangan 73 itu, bukan menunjukkan arti bilangan sesungguhnya, tetapi betapa banyaknya perpecahan-perpecahan itu terjadi, sehingga menimbulkan golongan-golongan yang sulit dihitung satu per satunya. Contoh: golongan-golongan yang belum disebutkan diatas, antara lain golongan Ahmadiyah, Baha’iyah, dan sebagainya. Belum lagi dihitung aliran-aliran kepercayaan di Indonesia yang sebagiannya mengaitkan ajaran-ajarannya dengan agama Islam.

B.     أأMenelusuri Jejak Pemikiran Kalam Setelah Perpecahan Umat Islam Sesudah Wafatnya Rasulullah Saw Pada Masa Sekarang.

Sebelum lebih jauh mempelajari pemikiran kalam yang terjadi setelah perpecahan umat islam sesudah wafatnya Rasulullah Saw, yang akan dibahas/ dibandingkan dengan pemikiran umat islam pada masa kini. Kita hendak nya tau dulu apa saja yang menjadi penyebab perpecahan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW sehingga menyebabkan munculnya banyak Firqah-Firqah Islam. Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pad masa Nabi Saw., maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Akan tetapi baru dikenal pada masa berikutnya, setelah ilmu-ilmu keislaman yang lain satu per satu muncul dan setelah orang banyak membicaran tentang kepercayaaan alam gaib (metafisika). Kita tidak akan dapat memahami persolan-persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita tidak mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya, kejadian-kejadian politis dan historis yang menyertai pertumbuhannya.[7] Dalam hal ini akan dibahas menjadi dua bagian yaitu latar belakang dan faktor-faktor penyebab timbulnya persoalan-persoalan kalam.

1.      Latar Belakang Timbulnya Persoalan-Persoalan Kalam
Pada masa Nabi Muhammad SAW, umat islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat, diatasi dengan wahyu dan pada saat itu tidak ada peselisihan diantara mereka. Awal mula perselisihan dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dan persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap Islam.[8]
Dalam sejarah Islam di terangkan bahwa perpecahan golongan itu tampak memuncak setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, sebagaimana dikatakan oleh Hudhari Bik, Hal itu menjadi sebab perpecahan pendapat kaum muslimin, yaitu satu golongan yang dendam atas Utsman bin Affan dan mereka yang adalah orang-orang yang membai’at Ali bin Abu Thalib r.a, dan satu golongan yang dendam atas terbunuhnya Utsman dan mereka adalah golongan yang mengikuti Muawiyah bin Abu Sofyan r.a.
Setelah terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan perpecahan memuncak, kemudian terjadilah perang jamal yaitu perang antara Ali dengan Aisyah dan perang Siffin yaitu perang antara Ali dengan Mu’awiyah, bermula dari itulah akhirnya timbul berbagai aliran di kalangan umat islam, masing – masing kelompok juga terpecah belah menjadi banyak diantaranya yaitu tiga golongan yakni golongan khawarij adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap putusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam perang Siffin pada tahun 37H/648 M, dengan kelompok bughot (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Golongan Murji`ah adalah orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. Golongan ketiga adalah syi`ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya. Sedangakan Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr ibn Al-As, Abu Musa Al-Asy`ari. Yang menerima abitrase (tahkim) adalah kafir, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur`an penggalan Surat Al-Maidah ayat 44
 “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah)[9]
Harun lebih lanjut melihat bahwa sebagaimana telah dikatakan diatas bahwa persoalan kalam yang pertama adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang kafir dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimna telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, adalah kafir berdasarkan firman Allah pada surat Al-Ma’idah ayat 44.
Persoalan ini telah menimulkan tiga Aliran teologi dalam Islam, yaitu :
1.      Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam
arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2.   Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun masalah dosa yang dilakukannya, hal itu  adalah terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya
3.   Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat diatas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat  sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.[10]
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hanbali, yaitu dari pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Mereka yang menantang ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M). Di samping aliran Asy’ariyah, timbul pula suatu aliran di Samarkand yang juga bermaksud menentang aliran Mu’tazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturidiyah.[11]
Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunnah wal-jama’ah.

2.     Faktor–Faktor  Timbulnya Persoalan-Persoalan Kalam
Adapun faktor yang menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan kalam antara lain dapat dikelompokkan menjadi 2 faktor yaitu : Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
1.      Faktor Internal
a.    Dorongan dan Pemahaman Al-Qur’an.
Faktor internal ini yang mengundang berbeda pendapat dan senantiasa mengajak berfikir.[12] Sehingga tuntutan berfikir itulah yang menyebabkan umat islam pada saat itu menentukan sesuatu dengan menggunakan fikirannya tanpa mengembalikan hasil pemikirannya pada Al-Qur’an, sehingga mengakibatkan perpecahan diantara umat islam pada saat itu.
b.    Persoalan Politik
Disamping faktor ‘memahami’ Al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, faktor politik dapat memunculkan madzhab-madzhab pemikiran dilingkungan umat islam, khususnya pada awal-awal perkembangannya. Maka, persoalan imamah (khilafah), menjadi persolan tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di lingkungan umat islam. Persoalan ini muncul mungkin karena umat islam menyadari bahwa khalifah adalah ‘amanah’ Ilahi, yang memiliki tujuan untuk mengembangkan dan menegakkan kultur, menegakkan perdamaian, serta menjamin manusia menjadi masyarakat yang tertib, dan lebih lanjutlagi menegakkan islam di muka bumi ini.[13]
c.    Adanya kepentingan kelompok atau golongan.
Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, dimana syiah merupakan kelompok yang mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan khawarij sebagai kelompok yang sebaliknya. Dan tujuan-tujuan diatas tadi berubah disebabkan kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi maupun golongan, sehingga menyebabkan terjadinya pertentangan politik, yang menjurus kepada saling menyalahkan diantara mereka
2.      Faktor Eksternal
Faktor ini muncul dari luar umat islam, yaitu :
a.    Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam.
Disamping faktor internal mendorong dan mempengaruhi kemnculan persoalan-persoalan kalam  juga ada faktor eksternal berupa paham-paham keagamaan non muslim tertentu yang mempengaruhi dan ikut mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam.
Paham keagamaan non-islam yang dimaksudkan adalah paham keagamaan yahudi dan nasrani, sebagaimana pendapat H.A.R Gibb yang mengatakan bahwa sejak islam tersebar luas, terjadi kontak dengan lingkungan lokalnya. Di Syiria misalnya, pemikiran islam mulai dipengaruhi oleh pemikiran Kristen Hellenistik, dan di Irak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Gnostik. Demikian pula pandangan Goldziher orang jerman yang ahli ketimuran dan ahli islam, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar aceh, yang mengatakan bahwa banyak ucapan dan cara berfikir kenasranian dimasukkan ke dalam hadits-hadits yang dikataakan berasal dari Muhammad.[14]
b.    Filsafat Yunani
Buku – buku karya filosofi yunani di samping banyak membawa manfaat juga ada sisi negatifnya bila di tangan kalangan yang tidak punya pondasi yang kuat tentang akidah dan syariat islam. Sehingga terdapat keinginan oleh umat islam untuk membantah alasan – alasan mereka memusuhi islam.

3.      Jejak-Jejak Pemikiran Kalam Yang Masih Ada Pada Masyarakat Sekarang.

Setelah kita mengatahui apa saja latar belakang dan penyebab perpecahan umat Islam sehingga membentuk beberapa Firqah, baru kita dapat menelusuri jejak-jejak pemikiran kalam pada masa sekarang yang masih tertinggal atau masih ada pada diri umat Islam zaman sekarang. Beberapa pemikiran kalam yang masih tertinggal dan masih ada di dalam diri masyarakat sekarang yaitu:

1.      Sebagai contoh pada zaman yang telah lalu salah satu yang menjadi faktor perpecahan umat Islam yaitu faktor Politik dan kepentingan golongan terentu, kita kaitkan dengan zaman sekarang adalah masalah yang baru-baru ini baru saja kita lalui yaitu pada saat pilkada ibokota Jakarta, dimana salah satu cagubnya adalah orang nonmuslim, sehingga beberapa oarang politik yang melihat kondisi ini menjadi Al-Qur’an sebagai suatu usaha untuk memprovokasi umat islam untuk tidak memillih nonmuslim. Berdasarkan hal ini memang benar dijelaskan dalam Al-Qur’an pada Q.S. Al-Maidah ayat 51
* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? yŠqåkuŽø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢ öNåkÝÕ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 `tBur Nçl°;uqtGtƒ öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÊÈ
Hai orang-orang  yang  beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Dengan berdasar dalil tersebut orang yang berkepentingan dalam politik yaitu pihak lawannya memprovokasikan agar seluruh umat Islam khususnya yang berada di wilayah Jakarta untuk tidak memilih nonmuslim. Meskipun provokasi tersebut tidak secara terbuka dan terang-terangan melainkan di melalui tangan pendukung-pendukungnya dan melaui berbagai media sosial.
2.      Misal beberapa masyarakat kita yang masih awam tapi ingin belajar agama lebih dalam sehingga mereka mempelajarinya hanya dari Al-Qur’an dan hadis. Dan apapun menurutnya hal yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis adalah Bid’ah dan menyeleweng dari agama.  Orang-orang yang seperti ini biasanya sangat fanatik dengan kepercayaannya itu tapi karena pengetahuan ilmunya masih kurang sehingga dia menjatuhkan segala halnya yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis adalah bid’ah. Contoh nyatanya adalah orang yang tidak mau ikut yasinan dan tahlillan karena menurutnya itu Bid’ah.

3.      H.M. Rasjidi mengkritik salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yaitu deskripsi aliran-aliran kalam sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu,           Rasyidi berbendapat bahwa menonjolkan perbedaan pendapat antara Asy’ariah dan Mu’tazilah sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Tidak ada agamayang mengagungkan akal seperti islam, tetapi dwngan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pemikiran manusia bersifat absolut universal, berarti menggangap sepi ayat-ayat Al- Qur’an, seperti “wallahu ya’lamu wa antum la ta’lamun” (dan Allah lah yang maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui) (Q.S. Al-Baqarah  [2] :232). Rasjidi kemudian menegaskan bahwwa sekarang dibarat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reksi terhadap aliran nasionalisme [15]
Rasjidi mengakaui bahwa soal soal yang pernah diperbincangkan pada zaman 12 abad yang lalu ada yang  masih relevan untuk masa sekarang tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian rasjidi menguraikan, yang masih dirasakan oleh umat islam pada umumnya adalah keberadaan syi’ah.[16]
4.      Dunia Islam pada masa sekarang adalah produk kesejahteraan yang telah bersentuhan dengan Barat, baik melalui proses konflik (disasosiatif) maupun koperatif (asosiatif) semenjak Islam tersebar ke luar dataran Arab hingga saat ini. Bentuk interaksional seperti itu banyak mempengaruhi perkembangan, tantangan, dan akibat-akibat yang diterima dalam intern kehidupan kaum muslimin di segenap penjuru dunia.[17]
Namun tak lama setelah wafatnya Nabi SAW tepatnya saat pemerintahan Ali, mulailah terjadi perecahan umat Islam sehingga terbentuk Firqah-Fiqah Kalam. Warisan sejarah pemikiran ini masih mewarnai percaturan pemikiran kaum muslimin pada periode berikut hingga dewasa ini konstruksi “ideologi keagamaan” sebagai sebuah sintesis dari unsur-unsur esoteris dan eksoterisme dalam Islam.
Percampuran pemikiran kalam dengan ideologi barat dan yunani ini akhirnya menciptakan pemikiran baru. Yang mengagung-agungkan akal dan kebebasan. Atau pemikiran ini lebih dikenal dengan kapital-liberalisme. Contohnya saja banyak masyarakat saat ini yang tidak lagi menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum tetapi mereka lebih mengedepankan akal.
5.      Ismail Al-Faruqi seorang tokoh pemikiran Kalam masa kini, ia mengemukakan bahwa. Inti pengalaman agama, menurut Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat  menempati posisi sentral dalam setiap kedudukam, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam waktu kapan pun. Bagi kaum muslim, Tuhan merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam Islam tidak lain dari realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidak sia-sia. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir. Esensi peradaban Islam adalah Islam, dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah Nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna.[18]
6.      Menurut Harun Nasution, dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak digunakan, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam. Penggunaan akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an. Bukan tidak ada dasar jika ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa  Islam adalah agama rasional. [19]
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ketika wafatnya Rasulullah SAW dengan sengaja beliau tidak menujuk siapa yang akan menjadi Khalifah selanjutnya, namun mempersiapkan kader untuk menjadi pemimpin. Walaupun status Rasulullah SAW tidak dapat diturunkan, namun pemimpin dapat diturunkan. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar terbilang stabil, munculnya perpecahan dalam sejarah islam bermula setelah Khalifah Utsman bin Affan dibunuh oleh sekelompok pemberontak yang menganggap Utsman tidak adil dalam mengambil kebijakan selama menjadi Khalifah. Ketika Ali bin Abi Tholib dilantik sebagai Khalifah untuk menggantikan Utsman, para pemberontak itu hadir dan mengadakan pendekatan kepada Ali dengan maksud mendukungnya yang dipelopori oleh Al-Gafiqi dari pemberontak Mesir sebagai pemberontak terbesar namun Ali menolaknya. Terlebih mereka memusuhi Khalifah Ali bin Abi Tholib dikemudian hari. Perkara ini menjadi penyebab utama perpecahan umat Islam.
          Sehingga di kemudian hari umat Islam semakin terpecah dan terbentuk banyak firqah-firqah kalam. Perpecahan itu terjadi karna perbedaan pemikiran antar umat Islam. Secara garis besar firqah-firqah itu terbentuk karna 2 faktor yaitu: Faktor Internal dan Faktor Eksternal. Faktor internal mencakup beberapa hal yaitu: Dorongan dan Pemahaman Al-Qur’an, Persoalan Politik, Adanya kepentingan kelompok atau golongan. Sedangakan Faktor Eksternal (Faktor ini muncul dari luar umat islam) mencakup beberapa hal yaitu: Akibat adanya pengaruh keagamaan dari luar islam, dan Filsafat Yunani.
Salah satu jejak pemikiran kalam zaman sekarang adalah adanya tokoh-tokoh, atau orang biasa yang berpikiran sama sepeti pemikiran kalam yang berkembang setelah kematian Khalifah Ali bin Abi Tholib.


[1] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hal. 57.
[2] Ibid, hal. 58-59.
[3] Ibid, hal. 60.
[4] Ibid, hal. 61.
[5] Ibid, hal. 62-63.
[6] H.M. Aryad Thalib Lubis, Perbandingan Agama Kristen dan Islam, (Medan: Firma Islamiyah, 1971 M/1392 H.)
[7]Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1431 H/2010 M), hal. 7.
[8] DR. Adul Rozak, M. Ag. Dan DR. Rosihon Anwar, M.Ag. Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 27.
[9] Ibid, hal. 28.
[10] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim, (Jakarta: Penerbit P3M, 1987), hal. 8.
[11] Ibid, hal. 9.
[12] Drs Adeng Muchtar Ghazali, M. Ag. Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modern, (Bandung:  Pustaka Setia, 2005), hal. 39.
[13] Ibid, hal. 49.
[14] Ibid, hal. 56.

[15] H.M Rasjidi, Koreksi Terhadap Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, (Jakarta : Bulan bintang, 1977),  hal. 52.
[16] Ibid, hal. 104.
[17] Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Konteporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2010), hal. 39.
[18] Abdul Rozak, Rosihin Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi,  (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 270-271.
[19] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1980), hal. 101.