RESUME KELOMPOK 11
GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
Agama menyangkut kehidupan batin, oleh karena itu, kesadaran agama
dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam
kehidupan yang ada keitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari
kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan
yang ditampilkan seseorang.
Sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan
faktor ekstern. Pada garis besar teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa
keagamaan berasal dari faktor intern dan faktor ekstern manusia. Pendapat
pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama),
karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut
bersumber pada faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia
seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak, dan sebagainya. Namun
pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor nama yang paling
dominan.
A.
Faktor intern
Secara garis besar faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap
perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia,
kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1.
Faktor hereditas
Sejak penemuan
sifat kebakaan pada tanaman oleh johann Gregor Mendel (1822-1884), telah
dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan dan manusia. Kajian genetik modern
terhadap manusia kemudian dikembangkan oleh H. Nilsson dan R. Emerson serta E.
East. Mereka meneliti tentang pengaruh genetik terhadap perbedaan warna kulit
manusia.
Selanjutnya,
kajian mengenai genetika pada manusia berlanjut hingga ke unsur gen manusia
yang terkecil yaitu deoxyribonnucleit acid (DNA). Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa DNA yang terbentuk tangga berpilah itu terdiri atas pembawa
sifat yang berisi informasi genetika. Secara garis besarnya pembawa sifat
turunan itu terdiri atas genotipe dan fenotipe. Genetipo merupkan
keseluruhan faktor bawaan seseorang yang walaupun dapat dipengaruhi lingkungan,
namun tidak jaun menyimpang dari sifat dasar yang ada.fenotipe merupakan
karakteristik seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, warn
akulit ataupun bentuk fisik.. temuan ini menginformaskan bahwa pada manusia
juga terdapat sifat turunan yang baka.
2.
Tingkat usia
Anak yang
memasuki usia berfikir kritis lebih jeli dalam memahami ajaran agama. Pada usia
remaja saat beranjak usia kematangan seksual, pengaruh itu pun menyertai
perkembangan jiwa keagamaan mereka
Tingkat
perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik
kejiwaa, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Hubungan antara
perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat
dihilangan begitu saja. Bila konveri lebih dipengaruhi oleh sugesti. Maka
tentunya konveksi lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat ditingkat usia
tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. Namun, kenyataannya hingga usia
baya pun masih terjadi konversi agama.
Terlepas dari
ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan
antar tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat
diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukan adanya
hubungan tersebut, meskipun tigkat usia bukan merupkan satu-satunya faktor
penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3.
Kepribadian
Kepribadian
menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan
pengaruh lingkungan. Adanya dua unsur yang membentuk kepribadian itu
menyebabkan munculnya konseptipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan
kepada unsur bawaan, sedangkan katakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh
lingkungan.
Maka para
psikologi cenderung berpendapat bahwa tipologi menunjukan bahwa manusia
memiliki kepribadian yang unik dan bersifat individu yng masing-masing berbeda.
Sebaliknya, karakter menunjukan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan
pengalamannya dengan lingkungan. Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian
manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk berdasarkan komposisis yang
terdapat dalam tubuh (Crijns dan Reksosiswojo: 234). Sebaliknya, dilihat dari
pendekatan katakterologis, kepribadian dapat diubah dan tergntung dari pengaruh
lingkungan masing-masing
4.
Kondisi kejiwaan
Kondisi
kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang
mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmud Freud
menunjukan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan dialam
ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang
abnormal. Selanjutnya, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan
mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau
kondisi sitem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal.
Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian
manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditrntukan oleh stimulan (rangsangan)
lingkungan yang dihadapinya saat itu.
B.
Faktor Ekstern
Faktor
ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat
dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umunya lingkungan tersebut
dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) keluarga; 2) institusi; dan 3) masyarakat.
1.
Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam
kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Bagi
anak-anak, keluarga merupkan lingkungan sosial pertama yang dikenalny. Dengan
demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan
jiwa keagamaan anak.
2.
Lingkungan Institusional
Lingkungan
institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa
institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai
perkumpualan dengan organisasi.
Sekolah
sebagi institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu
perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat
dibagi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid;
dan 3) hubungan antara anak (Y.Singgih D. Gunarsa, 1981:96). Dilihat dari
kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok
tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan
tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam
ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan
tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati, sosialibitas,
toleransi, keteladanan, sabar, dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi
sifat-sifat yang seperti itu umunya menjadi bagian dari progam pendidikan dari
sekolah.
Melalui
kurikulum, yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladan guru sebagai
pendidik serta pergaulan antarteman disekolah dinilai berperan dalam menanamkan
kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dai pembentukan
moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3.
Lingkungan Masyarakat
Sepintas,
lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur pengaruh
belaka (Sutari Imam Barnadib, 1987:117), tetapi norma dan tata nilai yang ada
terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar
dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negatif.
Misalnya, lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan
berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan
keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaa. Keadaan
seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan
warganya.
Sebaliknya,
dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan lebih cenderung
sekuler, kondisi seperti ini jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar,
sehingga diperkirakanturt mempengaruhi kondisi kehidupan warganya.
C.
Fanatisme dan Ketaatan
Suatu
tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan
seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm
bahwa karakter terbina melalui asimilisasi dan sosiolisasi, maka tradisi
keagamaan
Pendapat
tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbntuk oleh pengaruh lingkungan dan
dalam pembentukan kepribadian, aspekk emosiaonal dipandang sebagai unsur
dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak dapat
dilepaskan dari peran aspek emosional.
David
Riesman melihat bahwa tradisi kultular sering dijadikan penentu dimana
seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang (Philip K.
Back, 1980: 121). Dalam menyikapi tradisi kegamaan juga tak jarang munculnya
kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebur
dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka tebuka peluang bagi
pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat
fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari
ketataan, sebab ketaatan merupkan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner
directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar