Minggu, 06 Oktober 2019

GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN


RESUME KELOMPOK 11
GANGGUAN DALAM PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
Agama menyangkut kehidupan batin, oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada keitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.
Sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Pada garis besar teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber pada faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan, maupun kehendak, dan sebagainya. Namun pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor nama yang paling dominan.
A.    Faktor intern
Secara garis besar faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1.      Faktor hereditas
Sejak penemuan sifat kebakaan pada tanaman oleh johann Gregor Mendel (1822-1884), telah dilakukan sejumlah kajian terhadap hewan dan manusia. Kajian genetik modern terhadap manusia kemudian dikembangkan oleh H. Nilsson dan R. Emerson serta E. East. Mereka meneliti tentang pengaruh genetik terhadap perbedaan warna kulit manusia.
Selanjutnya, kajian mengenai genetika pada manusia berlanjut hingga ke unsur gen manusia yang terkecil yaitu deoxyribonnucleit acid (DNA). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa DNA yang terbentuk tangga berpilah itu terdiri atas pembawa sifat yang berisi informasi genetika. Secara garis besarnya pembawa sifat turunan itu terdiri atas genotipe dan fenotipe. Genetipo merupkan keseluruhan faktor bawaan seseorang yang walaupun dapat dipengaruhi lingkungan, namun tidak jaun menyimpang dari sifat dasar yang ada.fenotipe merupakan karakteristik seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, warn akulit ataupun bentuk fisik.. temuan ini menginformaskan bahwa pada manusia juga terdapat sifat turunan yang baka.
2.      Tingkat usia
Anak yang memasuki usia berfikir kritis lebih jeli dalam memahami ajaran agama. Pada usia remaja saat beranjak usia kematangan seksual, pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja ini menimbulkan konflik kejiwaa, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangan begitu saja. Bila konveri lebih dipengaruhi oleh sugesti. Maka tentunya konveksi lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat ditingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. Namun, kenyataannya hingga usia baya pun masih terjadi konversi agama.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antar tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukan adanya hubungan tersebut, meskipun tigkat usia bukan merupkan satu-satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3.      Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Adanya dua unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konseptipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan katakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
Maka para psikologi cenderung berpendapat bahwa tipologi menunjukan bahwa manusia memiliki kepribadian yang unik dan bersifat individu yng masing-masing berbeda. Sebaliknya, karakter menunjukan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan pengalamannya dengan lingkungan. Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk berdasarkan komposisis yang terdapat dalam tubuh (Crijns dan Reksosiswojo: 234). Sebaliknya, dilihat dari pendekatan katakterologis, kepribadian dapat diubah dan tergntung dari pengaruh lingkungan masing-masing                    
4.      Kondisi kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor  intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmud Freud menunjukan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan dialam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sitem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditrntukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
B.     Faktor Ekstern
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umunya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) keluarga; 2) institusi; dan 3) masyarakat.
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota-anggotanya terdiri atas ayah ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupkan lingkungan sosial pertama yang dikenalny. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.
2.      Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpualan dengan organisasi.
Sekolah sebagi institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga kelompok, yaitu: 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid; dan 3) hubungan antara anak (Y.Singgih D. Gunarsa, 1981:96). Dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur. Dalam ketiga kelompok itu secara umum tersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati, sosialibitas, toleransi, keteladanan, sabar, dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi sifat-sifat yang seperti itu umunya menjadi bagian dari progam pendidikan dari sekolah.
Melalui kurikulum, yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladan guru sebagai pendidik serta pergaulan antarteman disekolah dinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dai pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.
3.      Lingkungan Masyarakat
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur pengaruh belaka (Sutari Imam Barnadib, 1987:117), tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya, lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaa. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya, dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan lebih cenderung sekuler, kondisi seperti ini jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakanturt mempengaruhi kondisi kehidupan warganya.
C.    Fanatisme dan Ketaatan
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilisasi dan sosiolisasi, maka tradisi keagamaan
Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbntuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian, aspekk emosiaonal dipandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
David Riesman melihat bahwa tradisi kultular sering dijadikan penentu dimana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang (Philip K. Back, 1980: 121). Dalam menyikapi tradisi kegamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebur dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka tebuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketataan, sebab ketaatan merupkan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar