Selasa, 01 Oktober 2019

PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU


RESUME KELOMPOK 1
PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI DISIPLIN ILMU
A.    Psikologi Agama dan Cabang Psikologi
Para ilmuwan (Barat) menganggap filsafat sebagai induk dari segala ilmu. Sebab filsafat merupakan tempat berpijak kegiatan keilmuwan (Jujun S. Suriasumanteri, 1990:22). Dengan demikian, psikologi termasuk ilmu cabang dari filsafat. Dalam kaitan ini, psikologi agama dan cabang psikologi lainnya tergolong disiplin ilmu ranting dari filsafat.
Sebaliknya jika psikologi dinilai sebagai disiplin ilmu yang otonom yang kemudian darinya berkembang berbagai disiplin ilmu cabangnya, maka psikologi agama dapat disebut sebagai cabang psikologi. Oleh karena itu, sebutan psikologi agama sebagai ilmu cabang dari psikologi agaknya dapat diterima. Sehubungan dengan hal itu, maka pemahaman psikologi agama dan cabang psikologi seperti yang dimaksud dalam pembahasan berikut adalah menurut pendekatan yang terakhir.
Setelah lahirnya cabang-cabang psikologi dan kemudian menjadi disiplin ilmu yang otonom, pengembangannya tidak berhenti. Sebagai ilmu terapan, tampaknya psikologi berkaitan erat dengan kehidupan manusia secara pribadi maupun dengan lingkungan sosialnya. Kenyataan ini selanjutnya melahirkan cabang-cabang lagi menjadi psikologi kepribadian dan psikologi social.
Ternyata, seabad setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli melihat bahwa psikologi pun memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan batin manusia yang paling dalam, yaitu agama. Para ahli psikologi kemudian mulai menekuni studi khusus tentang hubungan antara kesadaran agama dan tingkah laku agama.
Kajian-kajian yang khusus mengenai agama melalui pendekatan psikologis ini sejak awal-awal abad ke-19 menjadi kian berkembang, sehingga para ahli psikologi yang bersangkutan melalui karya mereka telah membuka lapangan baru dalam kajian psikologi, yaitu psikologi agama. Sebagaimana latar belakang perkembangan cabang-cabang lainnya dari psikologi, maka psikologi agama pun kemudian mulai mendapat perhatian khusus, hingga menjadi disiplin yang otonom dengan nama psikologi agama.
B.     Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. (Jalaluddin, et al, 1979:77). Menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan tersebut secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada dibelakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.
Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hokum. Kemudian dalam Bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a= tidak; gam= pergi, mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun-temurun.
Thouless berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan keagamaan (Robert H. Thouless:25).
Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Di samping itu,psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut (Zakiah Daradjat, 1970:11).
C.    Ruang Lingkup dan Kegunaannya
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya psikologi agama dan ilmu perbandingan agama memiliki tujuan yang tak jauh beda, yakni mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan metode-metode penelitian yang bertipe bukan agama dan bukan teologis. Bedanya adalah, bila ilmu perbandingan agama cenderung memusatkan perhatiannya pada agama-agama primitive dan eksotis tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman dengan memperbandingkan satu agama dengan agama lainnya. Sebaliknya psikologi agama, seperti pernyataan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya paada agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagamaan tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi (Robert H. Thouless:25)
Lebih lanjut, Prof. Dr. Zakiah Darajat menyatakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan.
Oleh karena itu, menurut Zakiah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian mengenai:
1.      Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang, pasrah, dan menyerah setelah berdzikir dan ingat kepada Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2.      Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan hati.
3.      Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surge dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5.      Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya.
D.    Psikologi Agama dan Pendidikan Islam
Pendidikan islam di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan, pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat berfungsi dan berperan sebagaimana hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian ini pendidikan Islam tidak dibatasi oleh institusi (kelembagaan) ataupun pada lapangan pendidikan tertentu. Pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas.
Pendidikan Islam dalam konteks pengertian seperti yang dianjurkan Rasulullah SAW., inilah yang dimaksud dengan pendidikan Islam dalam arti yang seutuhnya. Dalam kaitan ini, pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi agama diguakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Ada beberapa contoh mengenai bagaiamana hubungan antara psikologi agama dan pendidikan Islam di awal-awal perkembangan ini.
Pendekatan psikolgi agama dalam pendidikan Islam ternyata telah dilakukan di periode awal perkembangan Islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua orangtua sebgai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam. Bahkan agama dan keyakinan seseorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan para orangtua mereka. Tak heran jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahawa keberagamaan anak terpola pada tingkah laku bapaknya.
Dalam pandangan Islam, sejak dilahirkan, manusia telah dianugerahkan potensi keberagamaan. Potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada seseuatu. Agar kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi ini tidak salah, maka perlu adanya bimbingan dari luar. Secara kodrati orangtua merupakan pembimbing pertama yang mula-mula dikenal anak. Oleh karena itu Rasulullah SAW menekankan bimbingan itu pada tanggung jawab kedua orangtua.
Pembentukan jiwa keagamaan pada anak diawali sejak ia dilahirkan. Kepdanya diperdengarkan kalimat tauhid, dengan mengumandangkan azan ke telinga kanannya dann iqamat di telinga kirinya. Lalu pada usia ketujuh hari (sebaiknya) bayi diaqiqahkan, dan sekaligus diberi nama yang baik, sebagai doa dan titipan harapan orangtua agar anaknya menjadi anak yang shaleh. Selain itu, kepada anak diberikan makanan yang bergizi dan halal. Pada periode perkembangan selanjutnya, anak diperlakukan dengan kasih sayang, serta dibiasakan pada perkataan, sikap dan perbuatan yang baik malalui keteladanan kedua orangtuanya.
Dalam konsep ajaran Rasulullah SAW tampaknya pembentukan kesadaran agama dan pengalaman agama, harus dilakukan secara simultan, sinergis dan utuh. Makan dan minuman yang halal, berkaitan dengan pemurnian unsur biokimia tubuh (soma) agar tetap sejalan dan terpeliharanya fitrah keagamaan. Kemudian azan dan iqamah, nama yang baik serta aqiqah, berhubungan dengan pembentukan nilai-nilai ketauhidan dalam jiwa (psycho). Lalu setelah anak mampu berkomunikasi, mereka diperkenalkan dengan perlakuan kasih sayang (keteladanan).
Lebih lanjut, saat anak menginjak usia tujuh tahun, secara fisik mereka dibiasakan untuk menunaikan shalat (pembiasaan). Kemudian setelah mencapai usia sepuluh tahun, perintah untuk menunaikan shalat secara rutin dan tepat waktu diperketat (disiplin). Pada jenjang usia ini pun anak-anak diperkenalkan kepada nilai-nilai ajaran agamanya. Diajarkan membaca Kitab Suci, Sunnah Rasul, maupun cerita-cerita bernilai pendidikan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar