Minggu, 06 Oktober 2019

PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN


RESUME KELOMPOK 8
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.    Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Tradisi menurut Parsudin Suparlan, Ph. D. Merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Miredith McGuire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi serta kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besar tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum. Kompetetif dan konflik menekankan legalitas seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangktan.
Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menujukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sebagai sistem pengarahan, agama tersusun dalam unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban pada tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan dalam bentuk pola berpikir dengan kompleksitas hubungan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga-lembaga. Dalam suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara umum pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan yang ada di masyarakat tersebut. Dalam konteks seperti ini terlihat hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan masyarakat tersebut.
            Bila kebudayaan sebagai cetak biru bagi bagi kehidupan (klickhohn atau sebagai pedoman kehidupan bagi masyarakat (Parludi Suparlan), maka dalam masyarakat pemeluk agama petangkat-perangkatyang berlaku umum dan menyeluruh sebagai norma-norma kehidupan akan cenderung mengandung muatan keagamaan. Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin sekular suatu masyarakat, maka pengaruh tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat akan kian memudar.
B. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan 
            Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata keagamaan yang sudah dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian tradisi kegamaan sudah merupakan kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi keagamaan sebagaipranata primer dan kebudayaan memang sulit untuk berubah karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya.
            Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi menurut bentuknya kebudaan terdiri atas tiga, yaitu ( Koentjaraningrat 1986: 80-9)
1.      Sistim kebudayaan
Berwujud gagasan,pikiran,konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan yang bentuknya dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2.      Sistem sosial
Sistem sosial berwujud aktifitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacaraserta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkrit. Sistem soaial adalah bentuk kebudayaan dalam wujud yang telah kongkret dan dapat diamati.
3.      Benda-benda budaya
Benda-benda budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan materil . benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi kegamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, atapun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama. Tradisi agamaan dalam pandangan Robert C Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda yaitu bagi masyarakat maupun individu. Fungsi yang pertama, adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua, tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau diri individu,bahkan dalam situasi terjadinya konfliksekalipun.
C. Kebudayaan dalam Era Global dan Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan
            Era global pada umumnya digambarkan sebgai kehidupan masyarakat dunia yang menyatu. Karena kemajuanteknologi, manusia antar negara menjadi mudah berhubungan baik kunjungan secara fisik, maupun melalui pemanfaatan perangkat komunikasi.
            Era global yang ditopang oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi menjadikan manusia seakan hidup dalam satu kota dunia. karena batas  negara sudah tidak menjadi batas penghalang.
Agaknya kasus global ini pula yang mendorong para Fuurulog meramalkan bahwa di abad ke 21 ini umat manusia merindukan kehidupan beragama. Tetapi, menjelang terjadinya keadaan yang diketengahkan oleh David C. Korten tersebut dampak kemajuan teknologi dan komunikasi telah ikut menimbulkan rasa kekhawatiran masyarakat dunia, disamping nilai-nilai positif yang ditampilkan oleh kemajuan tersebut.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barangkali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungan dengan perubahan sikap. Prof. Dr. Mar’at mengemukakan beberapaterori mengenai perubahan sikap ini. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannen perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu (Mar’at, 1981: 44). Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat maka mereka akan menerimanya.
Era global diperkirakan memunculkan tiga kecenderungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecenderungan pertama, berupa arus kembali ketradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecenderungan ketradisi keagamaan pada aspek mistik. Sedangkan, kecenderungan ketiga, adalah muncullah gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.
1.      Agama Budaya dan Budaya Agama
            Memang, menurut Walter Housten Clarck, bahwa membuat definisi tentang agama sangat sulit. Bahkan menurut seorang pakar psikologi agama, Robert H. thoulless sendiri, J.H. Leuba telah menyampaikan kepadanya empat puluh delapan definisi mengenai agama. Pakar antropologi budaya, Edward. B. Taylor mendefinisikan agama sebagai belive in supernatural being (percaya pada wujud yang adi kodrati). Sedangkan Stanley Hall menilai agama bersumber dari tradisi totemisme.
            Dalam hal ini sepertinya kesulitan sangat beralasan. Pertama, agama sebagai keyakinan terkait dengan kehidupan batin manusia yang paling dalam (Inerlive). Bagaimanapun, hal-hal yang menyangkut keyakinan sulit untuk diungkapkan secara tepat dalam terminology ilmiah. Secara epistimologi, kajian ilmu pengetahuan berada pada tatanan empiris. Kedua, setiap pakar mendefinisikan agama dari sudut pandang yang berbeda, sesuai dengan disiplin ilmunya masing- masing. Sedangkan ilmu pengetahuan terus berkembang. Hingga tahun 1990 saja jumlahnya sudah mencapai sekitar 660 disiplin ilmu dan cabang-cabangnya.
Batas antara agama dan budaya, ataupun budaya agama dan budaya non-agama bertambah kabur. Masyarakat dunia cenderung sudah tidak mempersoalkan lagi nilai-nilai sakral yang melatarbelakangi budaya agama. Upacara agama maupun upacara budaya agama dianggap bagaikan perayaan biasa. Budaya agama sudah dianggap sebagai milik bersama. Mereka membaur untuk ikut serta merayakannya. Bukan lagi dianggap milik golongan agama tertentu. Sebagai missal adalah Valentin’s Days, yang dipercayai bersumber dari tradisi agama Kristen.
2.      Sentiment keagamaan
Baru-baru ini masyarakat dikagetkan oleh masalah-masalah yang telah menimbulkan gejolak munculnya sentiment. Dalam skala international, adalah kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW oleh Harian Jyllands-Posten di Denmark. Lalu dalam Kawasan Nasional yakni kasus penyerangan terhadap pengikut ahmadiyah di Lombok. Kemudian baru-baru ini muncul pro dan kontra terhadap Unadang-Undang pornografi dan pornoaksi. Ketika kasus ini sempat mencuatkan berbagai reaksi, baik dalam bentuk kencaman maupun demonstrasi.
Secara etimologis sentiment diartikan sebagai semacam pendapat atau pandangan yang didasarkan perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan pertimbangan pikiran. Sebagai gejala psikologis, sentiment menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap sesuatu yang dianggap menyalahi atau bertentangan dengan kondisi yang ada. Ataupun dianggap melecehkan system nilai yang oleh pendukungnya dianggap sebagai sesuatu yang benar dan perlu dipertahankan. Sentiment berpengaruh dalam menimbulkan luapan perasaan, yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan reaksi.
3.      Kegersangan spiritual
Era globalisasi yang bertepatan dengan masuknya millennium III, telah memberi dampak dan pengaruh terhadap peradaban manusia, dan sejarah kemanusiaan. Pengaruh tersebut tak lepas dari yang bersifat positif dan negative. Terlepas dari semuanya itu, era globalisasi maupun millennium III adalah sebuah keniscayaan dari perjalanan sejarah peradaban manusia. Ibarat gerbong kereta, keduanya tetap meneruskan pengembaraannya menelusuri rel-rel zaman.
Direntang perjalanan ini, dirangkaikan gerbong modernisasi yang diusungnya, globalisasi membawa manusia kesuasana kehidupan baru. Dalam pandangan Ernst Cassirer, perubahan ini telah membawa manusia pada krisis pengenalan diri. Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan oleh Cassirer:
Keresahan batin memang semula melanda dunia Barat. Apa yang dinamakan “Filsafat Barat” dalam pandangan Roger Garaudy, semakin lama bukanlagi berbentuk cara hidup, akan tetapi hanya cara berpikir. Gejala serupa juga ikut melanda nilai-nilai peradaban Timur yang dikenal dengan dengan kekayaan nilai-nilai spiritualnya. Seiring dengan proses globalisasi, krisis pengenalan jati diri seperti diuangkapkan oleh Ernst Cassirer tampaknya sudah menggejolak. Tidak lagi terbatas pada Kawasan tertentu, melainkan sudah dalam proses mendunia.
Kegersangan spiritual dapat menimbulkan “cacat Nurani”. Dimana hal tersebut ditandai dengan terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan, mengubah manusia menjadi kejam, dan ingin menunjukan eksistensi dirinya melalui perbuatan yang tercela.
a.      Megalomania
Rangkaian kemenangan yang diperoleh menjadikan manusia lupa diri, dan merasa serba perkasa. Semuanya kemudian terendap kealam tak sadar, menumpuk dan berubah dalam bentuk narsisis kekuasaan. Secara tak sadar muncul dalam sikap megalomania (gila kekuasaan). Sejarah mencatat sosok megalomania, antara lain: Adolf Hilter, Idi Amin, Saddam Husein, maupun George Walker Bush.
b.      Keserakahan
c.       Manusia Robot
Kegersangan spiritual juga dapat mengubah perilaku manusia keperilaku robotis. Bentuk perilaku yang terkendali secara mekanisme. Membeo dalam kata, meniru perilaku. Mengidentifikasi diri dipopularitas sosok idola. ”Terhipnotis” jadi sosok “Pak Turut”. Tak ubahnya perilaku bocah yang termakan kemulukan iklan.
d.      Euphoria Masal
Kegersangan spiritual menyebabkan manusia merasa dirinya terasing. Merasa kesepian dalam keramaian.masyarakat manusia sudah berubah menjadi masyarakat massa (Mass Society). Masyarakat yang kehilangan rasa solidaritas. Berubah dari masyarakat panguyuban menjadi masyarakat patembayan. Masyarakat yang mengedepankan kepentingan individu,”lu-lu, gue-gue”.
Sebagai makhluk social perasaan terasing merupakan “derita” batin bagi manusia. Untuk mengenyahkan perasaan ini, mendorong manusia menemukan teman senasib. Membentuk peer group dengan latar belakang profesi. Membaur diri bersama teman senasib dan sepenaggungan, menyatu dalam eufaria Massal. Apapun kegiatannya bukan masalah, yang terpenting dapat mengobati kegundahan batin. Tak heran apabila berbagai klub bermunculan, terutama dikota-kota yang sudah terlanda peradaban modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar