RESUME KELOMPOK 8
PENGARUH
KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.
Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Tradisi menurut Parsudin Suparlan, Ph. D. Merupakan unsur sosial
budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah.
Miredith McGuire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi serta
kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besar tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam
masyarakat disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan
umum. Kompetetif dan konflik menekankan legalitas seperti pranata politik,
pranata pemerintahan, ekonomi dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan
sosial dalam masyarakat yang bersangktan.
Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek
kebudayaan yang tertinggi dan suci, menujukkan mode kesadaran manusia yang
menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sebagai sistem pengarahan, agama
tersusun dalam unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban pada tingkat
pemikiran, perasaan dan perbuatan dalam bentuk pola berpikir dengan
kompleksitas hubungan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga-lembaga. Dalam
suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara umum
pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan yang ada di masyarakat
tersebut. Dalam konteks seperti ini terlihat hubungan antara tradisi keagamaan
dengan kebudayaan masyarakat tersebut.
Bila kebudayaan
sebagai cetak biru bagi bagi kehidupan (klickhohn atau sebagai pedoman
kehidupan bagi masyarakat (Parludi Suparlan), maka dalam masyarakat pemeluk
agama petangkat-perangkatyang berlaku umum dan menyeluruh sebagai norma-norma
kehidupan akan cenderung mengandung muatan keagamaan. Dengan demikian, hubungan
antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal
balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan makin terlihat
peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin
sekular suatu masyarakat, maka pengaruh tradisi keagamaan dalam kehidupan
masyarakat akan kian memudar.
B. Tradisi Keagamaan dan Sikap
Keagamaan
Tradisi keagamaan
pada dasarnya merupakan pranata keagamaan yang sudah dianggap baku oleh
masyarakat pendukungnya. Dengan demikian tradisi kegamaan sudah merupakan
kerangka acuan norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi
keagamaan sebagaipranata primer dan kebudayaan memang sulit untuk berubah
karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut
kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya.
Para ahli
antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi menurut bentuknya kebudaan
terdiri atas tiga, yaitu ( Koentjaraningrat 1986: 80-9)
1.
Sistim kebudayaan
Berwujud gagasan,pikiran,konsep,
nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan yang bentuknya dalam pikiran para
pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
2.
Sistem sosial
Sistem sosial berwujud aktifitas, tingkah laku berpola, perilaku,
upacara-upacaraserta ritus-ritus yang wujudnya lebih konkrit. Sistem soaial
adalah bentuk kebudayaan dalam wujud yang telah kongkret dan dapat diamati.
3.
Benda-benda budaya
Benda-benda budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau
kebudayaan materil . benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya
pemangku kebudayaan yang bersangkutan.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi kegamaan merupakan
bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya.
Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, atapun
penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.
Tradisi agamaan dalam pandangan Robert C Monk memiliki dua fungsi utama yang
mempunyai peran ganda yaitu bagi masyarakat maupun individu. Fungsi yang
pertama, adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan keterpaduan
masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua, tradisi keagamaan
berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau diri individu,bahkan
dalam situasi terjadinya konfliksekalipun.
C. Kebudayaan dalam Era Global dan
Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan
Era global pada umumnya digambarkan sebgai kehidupan masyarakat
dunia yang menyatu. Karena kemajuanteknologi, manusia antar negara menjadi
mudah berhubungan baik kunjungan secara fisik, maupun melalui pemanfaatan
perangkat komunikasi.
Era global yang
ditopang oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi menjadikan manusia seakan
hidup dalam satu kota dunia. karena batas
negara sudah tidak menjadi batas penghalang.
Agaknya kasus global ini pula yang mendorong para Fuurulog meramalkan bahwa di abad ke 21
ini umat manusia merindukan kehidupan beragama. Tetapi, menjelang terjadinya
keadaan yang diketengahkan oleh David C. Korten tersebut dampak kemajuan
teknologi dan komunikasi telah ikut menimbulkan rasa kekhawatiran masyarakat
dunia, disamping nilai-nilai positif yang ditampilkan oleh kemajuan tersebut.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barangkali dampak
globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungan dengan perubahan sikap. Prof.
Dr. Mar’at mengemukakan beberapaterori mengenai perubahan sikap ini. Menurut
teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannen perubahan sikap akan terjadi jika
terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu
(Mar’at, 1981: 44). Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan
segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat maka mereka akan
menerimanya.
Era global diperkirakan memunculkan tiga kecenderungan utama dalam
kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecenderungan pertama, berupa arus kembali ketradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecenderungan ketradisi keagamaan
pada aspek mistik. Sedangkan, kecenderungan ketiga,
adalah muncullah gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.
1.
Agama Budaya dan Budaya Agama
Memang, menurut
Walter Housten Clarck, bahwa membuat definisi tentang agama sangat sulit.
Bahkan menurut seorang pakar psikologi agama, Robert H. thoulless sendiri, J.H.
Leuba telah menyampaikan kepadanya empat puluh delapan definisi mengenai agama.
Pakar antropologi budaya, Edward. B. Taylor mendefinisikan agama sebagai belive
in supernatural being (percaya pada wujud yang adi kodrati). Sedangkan
Stanley Hall menilai agama bersumber dari tradisi totemisme.
Dalam hal ini
sepertinya kesulitan sangat beralasan. Pertama, agama sebagai keyakinan terkait
dengan kehidupan batin manusia yang paling dalam (Inerlive).
Bagaimanapun, hal-hal yang menyangkut keyakinan sulit untuk diungkapkan secara
tepat dalam terminology ilmiah. Secara epistimologi, kajian ilmu pengetahuan
berada pada tatanan empiris. Kedua, setiap pakar mendefinisikan agama dari
sudut pandang yang berbeda, sesuai dengan disiplin ilmunya masing- masing.
Sedangkan ilmu pengetahuan terus berkembang. Hingga tahun 1990 saja jumlahnya
sudah mencapai sekitar 660 disiplin ilmu dan cabang-cabangnya.
Batas antara agama dan budaya, ataupun budaya agama dan budaya
non-agama bertambah kabur. Masyarakat dunia cenderung sudah tidak mempersoalkan
lagi nilai-nilai sakral yang melatarbelakangi budaya agama. Upacara agama
maupun upacara budaya agama dianggap bagaikan perayaan biasa. Budaya agama
sudah dianggap sebagai milik bersama. Mereka membaur untuk ikut serta
merayakannya. Bukan lagi dianggap milik golongan agama tertentu. Sebagai missal
adalah Valentin’s Days, yang dipercayai bersumber dari tradisi agama
Kristen.
2.
Sentiment keagamaan
Baru-baru ini masyarakat dikagetkan oleh masalah-masalah yang telah
menimbulkan gejolak munculnya sentiment. Dalam skala international, adalah
kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW oleh Harian Jyllands-Posten di
Denmark. Lalu dalam Kawasan Nasional yakni kasus penyerangan terhadap pengikut
ahmadiyah di Lombok. Kemudian baru-baru ini muncul pro dan kontra terhadap
Unadang-Undang pornografi dan pornoaksi. Ketika kasus ini sempat mencuatkan
berbagai reaksi, baik dalam bentuk kencaman maupun demonstrasi.
Secara etimologis sentiment diartikan sebagai semacam pendapat atau
pandangan yang didasarkan perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang
bertentangan dengan pertimbangan pikiran. Sebagai gejala psikologis, sentiment
menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap sesuatu yang
dianggap menyalahi atau bertentangan dengan kondisi yang ada. Ataupun dianggap
melecehkan system nilai yang oleh pendukungnya dianggap sebagai sesuatu yang
benar dan perlu dipertahankan. Sentiment berpengaruh dalam menimbulkan luapan
perasaan, yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan reaksi.
3.
Kegersangan spiritual
Era globalisasi yang bertepatan dengan masuknya millennium III,
telah memberi dampak dan pengaruh terhadap peradaban manusia, dan sejarah
kemanusiaan. Pengaruh tersebut tak lepas dari yang bersifat positif dan
negative. Terlepas dari semuanya itu, era globalisasi maupun millennium III
adalah sebuah keniscayaan dari perjalanan sejarah peradaban manusia. Ibarat
gerbong kereta, keduanya tetap meneruskan pengembaraannya menelusuri rel-rel
zaman.
Direntang perjalanan ini, dirangkaikan gerbong modernisasi yang
diusungnya, globalisasi membawa manusia kesuasana kehidupan baru. Dalam
pandangan Ernst Cassirer, perubahan ini telah membawa manusia pada krisis pengenalan
diri. Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan oleh
Cassirer:
Keresahan batin memang semula melanda dunia Barat. Apa yang
dinamakan “Filsafat Barat” dalam pandangan Roger Garaudy, semakin lama
bukanlagi berbentuk cara hidup, akan tetapi hanya cara berpikir. Gejala serupa
juga ikut melanda nilai-nilai peradaban Timur yang dikenal dengan dengan
kekayaan nilai-nilai spiritualnya. Seiring dengan proses globalisasi, krisis
pengenalan jati diri seperti diuangkapkan oleh Ernst Cassirer tampaknya sudah
menggejolak. Tidak lagi terbatas pada Kawasan tertentu, melainkan sudah dalam
proses mendunia.
Kegersangan spiritual dapat menimbulkan “cacat Nurani”. Dimana hal
tersebut ditandai dengan terabaikannya nilai-nilai kemanusiaan, mengubah
manusia menjadi kejam, dan ingin menunjukan eksistensi dirinya melalui
perbuatan yang tercela.
a.
Megalomania
Rangkaian kemenangan yang diperoleh menjadikan manusia lupa diri,
dan merasa serba perkasa. Semuanya kemudian terendap kealam tak sadar, menumpuk
dan berubah dalam bentuk narsisis kekuasaan. Secara tak sadar muncul dalam
sikap megalomania (gila kekuasaan). Sejarah mencatat sosok megalomania, antara
lain: Adolf Hilter, Idi Amin, Saddam Husein, maupun George Walker Bush.
b.
Keserakahan
c.
Manusia Robot
Kegersangan spiritual juga dapat mengubah perilaku manusia
keperilaku robotis. Bentuk perilaku yang terkendali secara mekanisme. Membeo
dalam kata, meniru perilaku. Mengidentifikasi diri dipopularitas sosok idola.
”Terhipnotis”
jadi sosok “Pak Turut”. Tak ubahnya perilaku bocah yang termakan kemulukan
iklan.
d.
Euphoria Masal
Kegersangan spiritual menyebabkan manusia merasa dirinya terasing.
Merasa kesepian dalam keramaian.masyarakat manusia sudah berubah menjadi
masyarakat massa (Mass Society). Masyarakat yang kehilangan rasa
solidaritas. Berubah dari masyarakat panguyuban menjadi masyarakat patembayan.
Masyarakat yang mengedepankan kepentingan individu,”lu-lu, gue-gue”.
Sebagai makhluk social perasaan terasing merupakan “derita” batin
bagi manusia. Untuk mengenyahkan perasaan ini, mendorong manusia menemukan
teman senasib. Membentuk peer group dengan latar belakang profesi.
Membaur diri bersama teman senasib dan sepenaggungan, menyatu dalam eufaria
Massal. Apapun kegiatannya bukan masalah, yang terpenting dapat mengobati
kegundahan batin. Tak heran apabila berbagai klub bermunculan, terutama
dikota-kota yang sudah terlanda peradaban modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar