Minggu, 06 Oktober 2019

PROBLEM DAN JIWA KEAGAMAAN


RESUME KELOMPOK 9
PROBLEM DAN JIWA KEAGAMAAN
A.    Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Mengawali pembahasaan mengenai sikap keagamaan,maka terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian mengenai sikap itu sendiri. Dalam pengertian umum, sikap dipandang sebagai seperagkat reaksi- reaksi aktif terhadap objek tertentu berdasrkan hasil penalaran, pemahaman dan penhayatan individ  ( MARE, 1982 : 21 )
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seserang yang mendorong u tuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
Beranjak dari kenyataan yang ada maka sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor yaitu faktor intern dan faktor eksteren. Memang dalam kajian pskologi agama beberapa pendapat menyetujui akan adanya potensi beragama pada diri manusia. Manusia adalah homo religius( makluk beragama ). Namun potensi tersebut memerlukan bimbingan dan pengembangan dari lingkungannya. Lingkungannya pula yang mengenalkan seseorang akan nilai- nilai dan norma- norma agama yang harus dituruti dan dilakoni.
Dikemukakan oleh Rita L. Akinso , bahwa  DNA merupakan melekul, berbentuk tanggapan pilihan , setiap  DNA tersusun dari deoxybibose, posft,dan empat macam bosa, yakni adenin, guanim,dan cytosin ( rita  L Atkinson : 54) sifat yang diturunkan dari generasi ke generasi lain disimpan dalam keempat basa yang terdapat dalam DNA tersebut ( Ensklopedia  Indonesia : 1105 ) dengan demikian, menurut Riita L, Atkinson selanjutnya tiap pembawa sifat merupakan bagian dari  DNA yang berisi informasi genetik ( Rita L Atkinso: 53).
Adapun faktor kedua, yang mempengaruhi tebentuknnya sikap dan prilakunya yakni makanan dan minuman. Segala asupan nutrisi yang bersumber dari makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang. Unsur materi  yang ikut mempenagruhi pertumbuhan fisik manusia ini ternyata memberi dampak tersendiri bagi terbentuknnya pola sikap dan prilaku mengapa demikian ?
B.     Sikap Keagamaan Yang Menyimpang
Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap  dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Dzat yang Supernatural. Dengan demikian, sikap keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi tuntutan dimaksud.
Sikap keagamaan yang menimpang terjadi bila sikap seseorang, terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang (dalam diri individu) dan juga pada kelompok atau masyarakat sedangkan perubahan sikap seperti itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif (Mar’at, 1982:17) dengan demikian, sikap keagamaan yang menyimpang sehubungan dengan perubahan sikap tidak selalu berkonotasi buruk.
Sikap keagamaan yang menyimpang dari tradisi keagamaan yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan pembaruan, seperti halnya Martin Luther. Demikian pula, Sidharta Gautama yang meninggalkan agama hindu kemudian menjadi pelopor lahirnya agama Budha. Keduanya merupakan contoh dari sekian banyak kasus sikap keagamaan yang menyimpang, namun yang positif.
Pakar sosiologi agama ini melihat, bahwa ada hubungan antara tingkat keberagamaan masyarakat dengan perkembangan budaya. Di masyarakat terbelakang nilai-nilai sakral keagamaan masih menyatu dalam aktivitas kemasyarakatan. Selanjutnya, ikatan tersebut mulai merenggang dalam kehidupan masyarakat modern. Di masyarakat modern yang disebutkan sebagai masyarakat sekuler, agama dinilai sebagai persoalan akhirat, sedangkan pemerintahan berhubungan dengan kehidupan duniawi (Elizabeth K Nottingham, 1975:51-59)
C.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan Yang Menyimpang
Terjadinya sikap keagamaan yang menyimpang berkaitan erat dengan perubahan sikap. Bebrapa teori psikologis mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut, antara lain: teori fungsi (Mar’at, 1982: 26-47). Masing-masing teori didasarkan atas pendekatan aliran psikologis tersebut.
Teori stimulus dan respon yang memandang manusia sebagai organisme menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variabel yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian pengertian dan penerimaan (Mar’at, 1982:27). Mengacu pada teori ini, jika seseorang atau kelompok memiliki perhatian terhadap sesuatu objek dan memahami objek dimaksud serta menerimanya, maka akan terjadi perubahan sikap. Objek iti sendiri menurut teori ini harus difungsikan sebgai stimulus agar dapat merespons perhatian, pengertian serta penerimaan oleh seseorang atau kelompok. Jadi, perubahan sikap sepenuhnya bergantung pada kemampuan lingkungan untuk menciptakan stimuls yang dapat menimbulkan rekasi dalam bentuk respon. Hal ini menunjukkan untuk mengubah sikap diperlukan kemmpuan untuk merekayasa objek sedemikian rupa hingga menarik perhatian, memberikan pengertian hingga dapat diterima.
Selanjutnya, teori kedua yaitu teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perubahan sikap adalah:
1.      Persepsi sosial
2.      Posisi sosial dan proses belajar sosial
Sedangkan faktor eksternal terdiri atas:
1.      Faktor penguatan (reinforcement)
2.      Komunikasi persuasif
3.      Harapan yang diinginkan.
Teori yang ketiga yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap lenih ditentukan oleh faktor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Oleh karena itu teori konsistensi ini oleh fritz Heider disebut Balance theory (mar’at, 1998:37).
Dalam kehidupan keagamaan barangkali perubahan sikap ini berhubungan dengan konveksi agama. Seserang yang merasa bahwa apa yang dialkukan sebelumnya adalah keliru, berupaya untuk mempertimbangkan sikap. Pertimbangn tersebut melalui proses dari munculnya persoalan hingga tercapainya suatu keseimbangan. Keempat fase dalam proses terjadinya perubahan sikap itu adalah:
1.      Munculnya persoalan yang dihadapi
2.      Munculnya bebrapa pengertian yang harus dipilih
3.      Mengambil keputusan berdasarkan salah-satu pengertian yang dipilih.
4.      Terjadi keseimbangan.
Perubahan sikap seperti ini, menurut Haider dilatarbelakangi oleh perasaan senang dan tidak sennag, sedangkan Osgood dan Tannenbaum menekankan pada penyamanan persepsi, Festinger lebih menekankan pada peran kognitif seperti halnya Brohm. Mengacu kepada teori ini perubahan sikap yang menyangkut kehidupan beragama dapat terjadi oleh karena adanya pengaruh dalam diri seseorang. Pemgaruh tersebut menimbulkan persoalan hingga terjadi keseimbangan seperti semula, maka dilakukan pemilihan dari berbagai alternatif yang memungkinkan. Pemilihan alternatif dapat didasarkan atas pertimbangan aspek efektif maupun kognitif. Pilihan yang terbaik biasanya adalah yang paling cocok dan dapat memberi kesetabilan pada siri seseorang. Kondisi tersebut dapat menimbulkan keharmonisan dan keseimbangan.
Menurut teori fungsi, perubahan sikap sesorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang. Sikap memilki suatu fungsi untuk menghadapi dunia luar agar individu senantiasa menyesuaikan dengan lingkungan menurut kebutuhannya (Mar’at, 1982: 49). Katz berpendapat bahwa sikap memiliki empat fungsi, yaitu:
1.      Fungsi instrumental
2.      Fungsi pertahanan diri
3.      Fungsi penerimaan dan pemberi arti
4.      Fungsi nilai ekspresif
Berdasarkan fungsi instrumental, manusia dapat membentuk sikap positif maupun negatif terhadap objek yang dihadapinya. Adapun fungsi pertahanan diri berperan untuk melindungi diri dari ancaman luar. Kemudian fungsi penerimaan dan pemberi arti berperan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selanjutnya, fungsi nilai ekspresif terlihat dalam pernyataan sikap sehingga tergambar bagaimana sikap seseorang atau kelompok terhapad sesuatu (Mar’at, 1982: 48).
Teori fungsi ini mengungkapkan bahwa terjadinya perubahan sikap tidak berlangsung secara serta merta, melainkan melalui suatu proses penyeimbangan diri dengan lingkungan. Keseimbangan tersebut merupakan penyesuaian diri dengan kebutuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar