BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi
dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku; ada
pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pehamaman
yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah
yang pertama sering disebut tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, tasawuf
Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun
tasawuf yang berorientasi ke arah kedua
disebut tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua ini banyak dikembangkan
para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, di samping sebagai sufi.
Selain kedua perkembangan
tasawuf tersebut ada juga perkembangan tasawuf Syi’ah atau Syi’i.
Kemudian pada makalah ini penulis akan menjelaskan bagaimana sejarah perkembangan tasawuf Syi’ah atau Syi’i.
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan
Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’ah (Syi’i)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’ah (Syi’i)
Tasawuf syi’ah bisa disebut juga tasawuf syi’i. Kaum syi’ah
merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib.
Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara
pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawwiyah bin Abu Sufyan), para
pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia.
Daratan Persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi
pemikiran semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya
antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini.
Ketika itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah.
Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga berkembang di daratan ini sebelum di
wilayah-wilayah Islam lainnya.[1]
Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i
dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran
filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal
kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf
filosofis dengan sekte Isma’iliyyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyyah inilah yang
menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya,
antara kedua kelompok ini terdapat keserupaan, khususnya dalam persoalan “quthb”
atau “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncaknya
kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran isma’ilyyah
tentang imam dan para wakil. Begitu juga, tentang pakaian compang-camping yang
disebut-sebut bersal dari Imam Ali.[2]
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan
Sunni dalam persoalan tasawuf. Dengan alasan, pertama, tidak dikenal
terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya
tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf
yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah,
ma’rifah, hulul, widhatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana
corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apapun adalah spekulatif. Tasawuf
yang falsafi juga spekulatif.
Didalam tradisi Syi’ah, dua aliran tasawuf (akhlaqi dan falsafi)
juga diadopsi. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau
pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul
Hikam, tetapi orang Syi’ah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali.
Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sunni.
Bahkan, banyak juga orang Syi’ah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang
menekankan tasawuf ‘amali.[3]
Di sisi lain, Ath-Thabthaba’i mencoba menjelaskan bahwa tasawuf
pada dasarnya berasal dari Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu makrifat atau tasawuf
seperti diamati pada masa kini, mula-mula timbul dalam dunia Sunnah kemudian
dikalangan kaum Syi’ah. Orang menyatakan secara terbuka sebagai Sufi dan
penganut ilmu makrifat, dan diakui sebagai mursyid atau guru rohani dari
tarekat orang-orang sufi, dalam bidang fiqh Islam tampaknya mengikuti paham
Sunni. Banyak mursyid yang mengikuti mereka dan menyebarkan ajaran
tarekat yang juga pengikut Sunni dalam fiqh. Walaupun begitu, para mursyid ini
menarik mata rantai silsilah kerohanian mereka, yang dalam kehidupan rohani
seperti silsilah keturunan dari seseorang, melalui mursyid-mursyid mereka
yang terdahulu kepada Ali. Juga hasil kasysyaf (vision) dan ilham
mereka, seperti diriwayatkan, kebayakan memuat kebenaran mengenai keesaan Ilahi
dan martabat kehidupan rohani, yang terdapat dalam ucapan-ucapan Ali dan para
Imam Syi’ah lainnya.[4]
Hal ini bisa kita lihat –jika tak terpengaruh oleh beberapa
ungkapan tajam dan kadang-kadang mengejutkan dari para guru tasawuf ini dan
merenungkan keseluruhan isi ajaran-ajaran mereka dengan tenang dan sabar.
Kewalian sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian manusia, adalah suatu
keadaan yang menurut kepercayaan Syi’ah dipunyai sepenuhnya oleh imam dan
melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Dan
Puncak Kerohanian (quthub) yang kehadirannya dianggap perlu oleh semua
kaum sufi di sepanjang zaman—sebagaimana juga sifat-sifat yang dikaitkan
dengannya—ada pertaliannya dengan konsepsi kaum Syi’ah mengenai Imam. Sesuai
dengan ucapan ahlul bait, imam, atau menurut istilah kaum sufi, ‘‘Manusia
Universal”, adalah manifestasi nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian
terhadap kehidupan dan perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata
dengan mempertimbangkan konsepsi kaum Syi’ah mengenai walayat, bahwa
dari sudut pandangan tentang kehidupan rohani dan dalam kaitannya dengan sumber
walayat, para mursyid tasawuf adalah ‘‘orang-orang Syi’ah’’
walaupun dari sudut pandangan bentuk lahiriah agama, mereka mengikuti mazhab
fiqh Sunni.[5]
Perlu disebutkan disini bahwa dalam uraian-uraian Sunni klasik
kadang-kadang dikatakan bahwa metode kerohanian dari thariqah atau
cara-cara yang dapat menyampaikan seseorang pada pengetahuan dan kesadaran
tentang dirinya tidak bisa diterangkan melalui bentuk-bentuk dan ajaran-ajaran
yang lahir dari Syariat. Bahkan, sumber-sumber bahwa pribadi-pribadi muslim
sendiri menemukan berbagai metode dan amal, yang kemudian diterima Tuhan,
seperti halnya kehidupan biara dalam agama Nasrani. Oleh karena itu, para mursyid
menyusun amalan-amalan tertentu yang dianggap perlu dalam metode
kerohanian, seperti bentuk upacara penerimaan murid oleh mursyid,
rinci-rinci cara yang didalamnya dzikir-dzikir diajarkan kepada sang murid baru
bersama pengenalan jubah kepadanya, dan pengguna musik, nyanyian dan cara-cara
lain yang menyebabkan fana’ (ekstase) selama menyebutkan nama-nama
Tuhan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawuf
syi’ah bisa disebut juga tasawuf syi’i. Kaum syi’ah merupakan
golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya,
setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung kekhalifahan
Ali dengan pendukung Muawwiyah bin Abu Sufyan), para pendukung fanatik Ali
memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan Persia terkenal
sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak Imperium
Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam dan Yunani
telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika itu, di daratan
Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga
berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh
karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata
keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun
dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan
paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyyah
dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau
ketuhanan para imam mereka.
[1] Solihin
dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) , hal.
71-72
[2]
Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-, Sufi dari Zama ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 192
[3]
Azyumardi Azka, Persamaan dalam Tasawuf, dalam www.abatasya.net.
[4] Allamah
M.H. Thabathaba’i, Islam Syi’ah, Asal-Usul dan Perkembangannya, terj. Djohan
Effendi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hal. 128
[5] Solihin
dan Rosihon Anwar, Op.Cit., hal. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar