Rabu, 14 Februari 2018

Makalah Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi'ah (Syi'i)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori prilaku; ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pehamaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah yang pertama sering disebut tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi, tasawuf Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf  yang berorientasi ke arah kedua disebut tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, di samping sebagai sufi.
Selain kedua perkembangan  tasawuf tersebut ada juga perkembangan tasawuf Syi’ah atau Syi’i. Kemudian pada makalah ini penulis akan menjelaskan bagaimana sejarah perkembangan  tasawuf Syi’ah atau Syi’i.

B.     Rumusan Masalah
1.    Jelaskan Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’ah (Syi’i)









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan Tasawuf Syi’ah (Syi’i)
Tasawuf syi’ah bisa disebut juga tasawuf syi’i. Kaum syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawwiyah bin Abu Sufyan), para pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan Persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya.[1]
   Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka. Menurutnya, antara kedua kelompok ini terdapat keserupaan, khususnya dalam persoalan “quthb” atau “abdal”. Bagi para sufi filosof, quthb adalah puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa doktrin seperti ini mirip dengan doktrin aliran isma’ilyyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga, tentang pakaian compang-camping yang disebut-sebut bersal dari Imam Ali.[2]
Sementara itu, Azyumardi Azra tidak membedakan antara Syi’ah dengan Sunni dalam persoalan tasawuf. Dengan alasan, pertama, tidak dikenal terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i sebab yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis. Tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, widhatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apapun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.
Didalam tradisi Syi’ah, dua aliran tasawuf (akhlaqi dan falsafi) juga diadopsi. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul Hikam, tetapi orang Syi’ah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi, dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sunni. Bahkan, banyak juga orang Syi’ah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.[3]
Di sisi lain, Ath-Thabthaba’i mencoba menjelaskan bahwa tasawuf pada dasarnya berasal dari Syi’ah. Ia menjelaskan bahwa ilmu makrifat atau tasawuf seperti diamati pada masa kini, mula-mula timbul dalam dunia Sunnah kemudian dikalangan kaum Syi’ah. Orang menyatakan secara terbuka sebagai Sufi dan penganut ilmu makrifat, dan diakui sebagai mursyid atau guru rohani dari tarekat orang-orang sufi, dalam bidang fiqh Islam tampaknya mengikuti paham Sunni. Banyak mursyid yang mengikuti mereka dan menyebarkan ajaran tarekat yang juga pengikut Sunni dalam fiqh. Walaupun begitu, para mursyid ini menarik mata rantai silsilah kerohanian mereka, yang dalam kehidupan rohani seperti silsilah keturunan dari seseorang, melalui mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada Ali. Juga hasil kasysyaf (vision) dan ilham mereka, seperti diriwayatkan, kebayakan memuat kebenaran mengenai keesaan Ilahi dan martabat kehidupan rohani, yang terdapat dalam ucapan-ucapan Ali dan para Imam Syi’ah lainnya.[4]
Hal ini bisa kita lihat –jika tak terpengaruh oleh beberapa ungkapan tajam dan kadang-kadang mengejutkan dari para guru tasawuf ini dan merenungkan keseluruhan isi ajaran-ajaran mereka dengan tenang dan sabar. Kewalian sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian manusia, adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syi’ah dipunyai sepenuhnya oleh imam dan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Dan Puncak Kerohanian (quthub) yang kehadirannya dianggap perlu oleh semua kaum sufi di sepanjang zaman—sebagaimana juga sifat-sifat yang dikaitkan dengannya—ada pertaliannya dengan konsepsi kaum Syi’ah mengenai Imam. Sesuai dengan ucapan ahlul bait, imam, atau menurut istilah kaum sufi, ‘‘Manusia Universal”, adalah manifestasi nama-nama Ilahi dan bimbingan kerohanian terhadap kehidupan dan perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang bisa berkata dengan mempertimbangkan konsepsi kaum Syi’ah mengenai walayat, bahwa dari sudut pandangan tentang kehidupan rohani dan dalam kaitannya dengan sumber walayat, para mursyid tasawuf adalah ‘‘orang-orang Syi’ah’’ walaupun dari sudut pandangan bentuk lahiriah agama, mereka mengikuti mazhab fiqh Sunni.[5]
Perlu disebutkan disini bahwa dalam uraian-uraian Sunni klasik kadang-kadang dikatakan bahwa metode kerohanian dari thariqah atau cara-cara yang dapat menyampaikan seseorang pada pengetahuan dan kesadaran tentang dirinya tidak bisa diterangkan melalui bentuk-bentuk dan ajaran-ajaran yang lahir dari Syariat. Bahkan, sumber-sumber bahwa pribadi-pribadi muslim sendiri menemukan berbagai metode dan amal, yang kemudian diterima Tuhan, seperti halnya kehidupan biara dalam agama Nasrani. Oleh karena itu, para mursyid menyusun amalan-amalan tertentu yang dianggap perlu dalam metode kerohanian, seperti bentuk upacara penerimaan murid oleh mursyid, rinci-rinci cara yang didalamnya dzikir-dzikir diajarkan kepada sang murid baru bersama pengenalan jubah kepadanya, dan pengguna musik, nyanyian dan cara-cara lain yang menyebabkan fana’ (ekstase) selama menyebutkan nama-nama Tuhan.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasawuf syi’ah bisa disebut juga tasawuf syi’i. Kaum syi’ah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah peristiwa Perang Shiffin (yakni perang antara pendukung kekhalifahan Ali dengan pendukung Muawwiyah bin Abu Sufyan), para pendukung fanatik Ali memisahkan diri, dan banyak berdiam di daratan Persia. Daratan Persia terkenal sebagai daerah yang telah banyak mewarisi tradisi pemikiran semenjak Imperium Persia berjaya, dan di Persia inilah, kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa di sini. Ketika itu, di daratan Persia sudah berkembang tradisi ilmiah. Pemikiran-pemikiran kefilsafatan juga berkembang di daratan ini sebelum di wilayah-wilayah Islam lainnya.
Oleh karena itu, perkembangan tasawuf Syi’i dapat ditinjau melalui kacamata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan kaum Syi’ah dengan paham tasawuf. Ia melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyyah dari Syi’ah. Sekte Isma’iliyyah inilah yang menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan para imam mereka.


[1] Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011) , hal. 71-72
[2] Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-, Sufi dari Zama ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 192
[3] Azyumardi Azka, Persamaan dalam Tasawuf, dalam www.abatasya.net.
[4] Allamah M.H. Thabathaba’i, Islam Syi’ah, Asal-Usul dan Perkembangannya, terj. Djohan Effendi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hal. 128
[5] Solihin dan Rosihon Anwar, Op.Cit., hal. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar